Memang tidak dipungkiri, kalau pembangunan kota Solo begitu pesat. Bangunanpun megah berdiri, taman-taman kota bermunculan, bahkan pasar tradisional juga direnovasi, semakin membuktikan adanya perkembangan kota Solo. Bahkan yang lebih menarik dari itu semua adalah adanya perencanaan pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat di Kota Solo. Biasanya lebih dikenal dengan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Di berbagai kesempatan, selalu ada saja pejabat yang bilang, kalau pembangunan yang terjadi di Kota Solo, tidak lepas dari peran partisipasi masyarakat. Selama ini pelaksanaan Musrenbang yang telah berjalan di Kota Solo dilakukan secara berjenjang. Mulai dari tingkat kalurahan, atau sering disebut Musrenbangkel, dilanjutkan ditingkat Kecamatan, atau yang disebut dengan Musrenbangcam, dan terakhir di tingkat Kota, disebut dengan Musrenbangkot. Dalam kegitan Musrenbang, biasanya melibatkan seluruh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Didalam keterlibatan itu, diharapkan ada usulan yang benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat bukan keinginan. Namun kenyataannya, seringkali banyak usulan yang muncul, entah itu kebutuhan atau keinginan, yang tentunya itu semua bagi mereka dianggap sebagai prioritas yang harus dilakukan dalam pembangunan Kota. Biasanya, peserta Musrenbang ini dipilih, yang terdiri dari berbagai tokoh masyarakat, atau perwakilan dari institusi masyarakat, seperti RT, RW, LPMK (Lembaga Perwakilan Masyarakat Kalurahan), PKK, Karangtaruna, organisasi keagamaan, dst. Dari daftar tersebut, tidak pernah terdengar atau terlihat perwakilan dari kelompok anak-anak. Bagi Panitia penyelenggara Musrenbang beberapa tahun sebelumnya, suara anak selama ini sudah diwakilkan melalui orang dewasa. Mereka mengganggap anak tidak mungkin bisa diajak bicara soal pembangunan, atau dengan kata lain di “bisukan”. Tidak heran jika kemudian tidak diketemukan dalam daftar perencanaan program pembangunan yang menjawab kebutuhan anak-anak. Kalaupun itupun ada, bisa dipastikan berdasarkan asumsi orang dewasa belaka. Maka jangan heran jika kemudian pembangunan kota sering tidak pernah berpihak kepada anak-anak. Partisipasi Pelaksanaan kebijakan Musrenbang didasarkan pada UU no.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan UU no.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam kebijakan tersebut mengharuskan keterlibatan masyarakat untuk turut terlibat dalam perencanaan pembangunan. Sebagaimana yang dimaksudkan didalam UU no.25 tahun 2004, Pasal 2 ayat (4) Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk: a. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Dengan demikian, kata partisipasi masyarakat ini sendiri menjadi penting. Sebab bila dibandingkan pada masa orde baru, kecenderungan pembangunan lebih bersifat top down, sehingga rakyat lebih ditempatkan sebagai obyek pembangunan. Lalu sebenarnya apa yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat? Isbandi (2007: 27) mendefinisikan mengenai pengertian partisipasi masyarakat yaitu keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Selanjutnya Mikkelsen (1999: 64) membagi partisipasi menjadi 6 (enam) pengertian, yaitu:
- Partisipasi merupakan kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan;
- Partisipasi merupakan “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan;
- Partisipasi merupakan keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri;
- Partisipasi merupakan suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu;
- Partisipasi merupakan pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial;
- Partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka.
Dengan demikian Partsipasi merupakan keterlibatan aktif seseorang, atau sekelompok orang secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap evaluasi, dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebab partisipasi sendiri merupakan salah satu sarana untuk pencapaian kesejahteraan. Sehingga tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk tidak melibatkan masyarakat setiap tahapan di perencanaan hingga eavalusi pelaksanaan pembangunan. Sebab partisipasi masyarakat didalam pembangunan memiliki basis hukum yang jelas. Namun perlu menjadi pertanyaan disini adalah siapa yang dimaksud dengan masyarakat? apakah anak-anak juga merupakan bagian didalamnya? Jika jawabannya, ya, akan tetapi kenapa selama ini anak-anak tidak pernah dilibatkan didalam perencanaan Musrenbang? Apakah betul jika seandainya anak-anak tersebut diwakili oleh orang dewasa, kemudian sudah menjawab kebutuhan anak? Dasar partisipasi anak Sebenarnya, permasalahannya tidak hanya soal menjawab atau tidak adanya kebutuhan anak yang terakomodir didalam dokumen Musrenbang, akan tetapi lebih menyangkut hak anak untuk didengar pendapatnya. Konvensi Hak Anak (KHA) yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Keppres No.36 tahun 1990, yang terkait dengan partisipasi, telah diatur secara tegas, yang terdapat didalam pasal 12 ayat 1 berbunyi:
Negara-negara pihak harus menjamin bagi anak yang mampu membentuk pendapatnya sendiri, hak untuk mengutarakan pendapat-pendapat tersebut dengan bebas dalam semua masalah yang mempengaruhi anak itu, pendapat itu diberi bobot yang semestinya sesuai dengan umur dan kematangan anak.
Demikian pula dengan UU no.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga mengatur tentang partisipasi anak, yang terdapat didalam pasal 4, yang berbunyi: Setiap anak berhak untuk dapat hidup , tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Salah satu hak anak tersebut adalah hak untuk berpartisipasi, di mana dalam hal ini pasal 10 menyebutkan bahwa : Setiap anak berhak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima dan mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusialaan dan kepatutan.
Demikian pula dengan jaminan anak untuk berpartisipasi, juga dijelaskan di dalam pasal 24, yang berbunyi:
Negara dan pemerintah menjamin anak untuk dapat mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.
Dengan memperhatikan tersebut diatas, partisipasi anak bisa dikatakan sebagai hak anak, yang tentunya harus dihormati oleh negara. Tentunya penempatan partisipasi anak dalam pembangunan ini juga harus mempertimbangkan bobot usia dan kematangan anak. Bahkan di dalam buku pedoman palaksanaan Partisipasi, yang diterbitkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan, pada tahun 2007, juga diatur bagaimana harus melakukan partisipasi anak. Dalam pedoman tersebut penjelasan partisipasi anak adalah keterlibatan anak dalam proses pengambilan keputusan dan menikmati perubahan yang berkenan dengan hidup mereka baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dilaksanakan dengan persetujuan dan kemauan semua anak berdasarkan kesadaran dan pemahaman. Partisipasi juga bisa dipahami sebagai bagian dari proses dialog antara pemegang kewajiban (duty-bearer) yaitu Pemerintah dengan pemegang hak (rights holder) yaitu anak, yang kemudian dirumuskan dalam dokumen perencanaan pembangunan. Untuk mencapai itu, tentunya adanya pengaturan secara khusus, yang mengatur mekanisme partisipasi anak didalam perencanaan pembangunan. Sebab sangatlah tidak mungkin menempatkan anak dan orang dewasa duduk bersama dalam satu ruang untuk berdebat. Sebagai catatan terakhir bagi Pemerintah Kota Solo yang akan melaksnakan Musrenbang, penting kiranya jika dibuat mekanisme secara khusus, yang mengatur keterlibatan anak dalam Musrenbang. Sehingga anak tidak hanya menjadi penonton dalam pelaksanaan Musrenbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H