Seharusnya, sebuah kebijakan Pemerintah harus mensejahterakan rakyatnya. Namun kebijakan itu tak berlaku di Kota Solo. Inilah gambaran dari sebuah kebijakan Pemerintah Daerah yang secara sengaja, Mengancam bagi kehidupan Pemulung. [caption id="attachment_88564" align="alignleft" width="300" caption="sepeda sebagai alat produksi bagi Pemulung"][/caption]
Belum lama ini, DPRD Kota Surakarta melakukan public hearing mengenai rancangan peraturan daerah (raperda) pengelolaan sampah. Dalam acara tersebut diundang beberapa stakeholder kota Surakarta. Ini tentu menjadi perbincangan menarik, mengingat sampah selalu menjadi problem perkotaan. Keberadaan raperda tentang pengelolaan sampah, bagi penulis dan masyarakat awam lainnya tentu bisa dimaknai sebagai sesuatu yang menggembirakan dan juga sekaligus memprihatinkan. Menggembirakan dalam arti, bahwa ada komitmen Pemerintah Kota Surakarta dalam upaya mau untuk melakukan pengelolaan sampah. Komitmen tersebut diwujudkan dalam bentuk legislasi daerah. Mengingat selama ini masih banyak persoalan persampahan di kota Surakarta yang belum bisa tertangani secara baik. Sebagaimana yang biasa ditemui oleh penulis, seperti keberadaan sampah di sudut pasar tradisonal yang menumpuk, dan kadang menimbulkan bau tak sedap. Belum lagi keberadaan sampah-sampah yang ada di Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) hingga tumpah di jalan-jalan. Tentunya situasi tersebut sangat mengganggu bagi para pelintas jalan. Diharapkan dengan adanya Raperda bisa mengatasi problem persampahan di Kota Surakarta, sekaligus pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pengelolaan sampah untuk bisa menjalankan kewajibannya secara sungguh-sungguh. Kemudian keprihatinannya adalah, tidak adanya proses partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan raperda pengelolaan sampah sejak awal. Keterlibatan masyarakat pun hanya dilakukan pada waktu public hearing dengan waktu sangat terbatas, dan keterlabatan waktu pembahasan yang seharusnya di mulai jam 10.00 WIB menjadi 11.00 WIB. Itu belum termasuk persoalan penerimaan naskah raperda yang diterima oleh sebagian peserta pada hari yang sama dilaksanakannya publik hearing. Kondisi ini mengakibatkan tidak maksimalnya pengkritisan terhadap raperda ini. Tidak adanya partisipasi dalam penyusunan raperda pengelolaan sampah, tentunya berdampak pada ketidakberpihakan isi didalam raperda tersebut kepada masyarakat kecil. Kondisi tersebut tercermin didalam pasal 37 yang berisi mengenai berbagai macam larangan dan pasal 47 mengenai pemidanaan, yang selalu menjadi pertanyaan peserta publik hearing. Bahkan didalam Raperda tentang pengelolaan sampah, juga mengancam masa depan para pemulung yang selama ini menggantungkan hidupnya terhadap sampah. Salah satunya terdapat dalam pasal 37, yang berbunyi: Setiap orang dilarang: (i) mengeruk atau mengais sampah di TPS, kecuali oleh petugas untuk kepentingan dinas. Apabila ada yang melakukan pelanggaran, maka dikenakan pemidanaan yang diatur dalam pasal 47, ayat (1) yang berbunyi; setiap orang yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam: pasal 11 ayat (1); pasal 12 ayat (1); pasal 13 ayat (1); pasal 15 (1); pasal 16; pasal 18; pasal 22 ayat (1) dan (2); pasal 24; dan pasal 37 peraturan daerah ini diancam dengan kurungan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Sangatlah jelas dalam Raperda ini disebutkan, bahwa siapapun (setiap orang) tidak boleh melakukan aktifitas di TPS, kecuali petugas untuk kepentingan dinas. Bila demikian penjelasannya, maka peraturan daerah ini, jelas-jelas telah merebut hak ekonomi masyarakat kecil terutama para pemulung. Sangatlah mustahil memisahkan pemulung dengan yang namanya sampah, sebab ketergantungan hidup para pemulung dengan sampah sedemikian tinggi. Setiap hari para pemulung bekerja mengambil sampah dengan cara memunguti apa yang bisa diambil dan sudah tidak dimanfaatkan lagi akan tetapi memiliki nilai jual itulah yang diambilnya. Dari hari kehari keluar masuk TPS atau TPA, tanpa menghiraukan bau busuk yang menyengat, para pemulung tetap bekerja, agar bisa menafkahi keluarganya. Pekerjaan sebagai pemulung bukanlah sebagai pekerjaan yang mudah. Tidak sedikit hambatan yang dialami oleh para pemulung tersebut dalam mencari nafkah hidupnya. Mulai dari ancaman soal kesehatan, karena bekerja ditempat yang kotor, hingga soal stigma negatif, seperti tuduhan sebagai pelaku kriminal yang selalu mencuri milik orang lain. Sampai saat ini belum ada data yang pasti mengenai jumlah pemulung yang ada di kota Surakarta. Bahkan pemerintah Kota Surakarta terkesan enggan untuk melakukan upaya pendataan terhadap para pemulung ini. Namun yang pasti, realitasnya mereka ada dan mampu secara mandiri turut menggerakkan roda ekonomi kota Surakarta, meski belum diakui keberadaannya hingga sekarang. Dan kini nasibnya bakal terdepak dengan adanya raperda pengelolaan sampah ini. Hak warga Negara untuk berusaha Keberadaan pemulung dikota-kota besar, termasuk di Kota Solo tidak lepas dari problem pembangunan yang timpang dan tidak memberikan tempat bagi orang-orang miskin. Ketika ruang formal tertutup bagi kaum pinggiran, maka mereka kebanyakan menyerbu diruang-ruang informal. Kelompok inilah kemudian menyerbu pekerjaan yang berada di "pinggiran". Kebanyakan mereka melakukan usaha-usaha ekonomi yang jauh dari proteksi Negara. Bahkan usaha ekonomi mereka berpotensi mendapatkan ancaman penggusuran hingga razia dari Negara. Selama ini, keberadaan masyarakat miskin di pinggiran sangat minim subsidi dari Pemerintah, atau terkadang ada subsidi namun tidak sampai kepada masyarakat miskin. Kondisi seperti ini yang kemudian oleh masyarakat miskin diapresiasi untuk tidak terlalu menggantungkan diri pada Pemerintah meski dengan keterbatasan yang ada. Daya tahan untuk mandiri dikalangan masyarakat miskin cukup tinggi. Situasi seperti ini yang jusru banyak dialami oleh para pemulung, yang dimasa orde baru disebut dengan laskar mandiri, sebagai bentuk pencintraan sekaligus pelepasan kewajiban Negara terhadap rakyat miskin. Meskipun demikian Pekerjaan sebagai pemulung, seringkali dicitrakan negatif, sebagai kelompok yang tidak teratur, tidak bersih, kumuh, dan dekat dengan tindakan kriminal. Stigma negatif kepada para pemulung sebagai upaya untuk memarginalisi para pemulung, tak lepas untuk menyingkirkan posisi kaum miskin yang ada diperkotaan, seperti di kota Surakarta ini. Kemudian apa yang dilakukan oleh pemulung dengan memungut sampah yang memiliki nilai ekonomi tinggi ini kemudian diambil alih oleh Pemerintah Kota. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala DKP Satrio Teguh Subroto; "....jika pengelolaan sampah oleh pihak ketiga direalisasikan maka pemerintah hanya mengelola dari rumah tangga sampai TPA. Namun, kata dia, bukan tidak mungkin ke depannya pengelolaan dari TPS-TPA bisa dikelola oleh investor." (Solopos, 12/6/2010, Hal.III). Jika pernyataan tersebut sebagai pernyataan resmi Pemerintah Kota, bisa dipastikan peluang masyarakat, terutama para pemulung dalam memanfaatkan sampah baik di TPA dan TPS bisa tertutup rapat. Tentunya ini berakibat pada penghilangan hak untuk bekerja bagi warga miskin. Penghilangan dengan cara pembatasan ruang bekerja para pemulung oleh Pemerintah Kota Surakarta bisa dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM secara langsung (by commission). Pelarangan ini tentunya bertentangan dengan apa yang tertuang didalam UUD 1945 amandemen IV, Pasal 27 ayat (2) yang menjelaskan bahwa: "Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Dalam Pasal 28D ayat (2) Perubahan UUD 1945 ditentukan :Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural 1966, pasal 6 ayat (1) menentukan "negara-negara peserta perjanjian ini mengakui hak untuk bekerja yang meliputi setiap orang atas kesempatan memperoleh nafkah dengan melakukan pekerjaan yang secara bebas dipilihnya atau diterimanya dan akan mengambil tindakan-tindakan yang layak dalam melindungi hak ini". Dari perspektif hak asasi manusia (HAM), makna dari hak-hak dasar warga negara memiliki dua pengertian. Pertama adalah hak-hak untuk memeperoleh kebebasan menentukan nasibnya sendiri, dalam hal ini soal kebebasan mengemukan pendapat, bebas dari tirani, bebas berserikat dan berkumpul dan sebagainya. Dalam deklarasi universal mengenai hak-hak asasi manusia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1945, hak-hak semacam ini dikelompokkan ke dalam hak sipil dan politik (civic and political rights). Pengertian kedua mengenai hak-hak dasar adalah hak untuk dapat hidup layak, mengembangkan diri dan memperoleh kualitas tertinggi dalam kehidupan. Termasuk dalam hal ini hak untuk mendapat pendidikan yang layak, hak untuk hidup dengan kualitas kesehatan setinggi-tingginya, hak untuk memperoleh kesempatan mengembangkan ekonomi, dan lain-lain. Hak-hak semacam ini oleh PBB dikelompokkan menjadi hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, social and cultural rights) atau lebih dikenal sebagai hak-hak ECOSOC. (Ilham Cendekia, Desentralisasi dan Pemenuhan Hak-Hak ECOSOC). Tentunya sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi ecosoc (economy, social and culture) kedalam undang-undang Nomor 11 tahun 2005, Pemerintah Indonesia terikat dengan konvensi tersebut. Konsekuensinya kemudian, Pemerintah Indonesia menindaklanjutinya dengan mengambil langkah-langkah, baik sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional,terutama bantuan teknik dan ekonomi dan sejauh dimungkinkan sumber daya yang ada, guna mencapai secara progresif realisasi sepenuhnya hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dengan menggunakan semua upaya-upaya yang memadai, termasuk pembentukkan langkah-langkah legislatif. Hal yang sama, tentunya juga dilakukan oleh Pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang bisa menjamin terlaksananya pemenuhan hak ekonomi, sosial dan politik, bukan malah sebaliknya. Penghapusan pasal Benarlah kiranya, jika pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam menyusun kebijakan dalam bentuk legislasi. Namun yang harus diperhatian dalam proses penyusunan legislasi tersebut perlu memperhatikan kepentingan masyarakat, sehingga kebijakan legislasi tersebut tidak merugikan kepentingan masyarakat yang justru mengarah pada pelanggaran HAM. Proses penyusunan legislasi pun, seharusnya juga melibatkan peran serta masyarakat, terutama masyarakat yang menjadi subyek dari legislasi tersebut. Jika memperhatikan raperda pengelolaan sampah yang sedang di bahas oleh DPRD kota Surakarta saat ini, masih banyak beberapa pasal didalamnya yang justru bertentangan dengan UU diatasnya, dan juga mengarah pada pelanggaran HAM. Salah satunya adalah pasal 37, yang menyebutkan seseorang dilarang untuk melakukan aktivitas di TPS. Dengan adanya larangan tersebut jelas-jelas menunjukan adanya larangan pemulung untuk mengais dan mengambil sampah di TPS. Sebab selama ini keberadaan TPS sebagai tempat untuk menggantungkan hidup bagi para pemulung untuk mencari nafkah. Jika tempat ini dilarang, sama juga Pemerintah Kota Surakarta membunuh penghidupan para pemulung. Oleh karena itu, sudah sepatutnya jika pasal 37 terutama di huruf (i) untuk dihapus. Jika pasal ini tetap dipertahankan, bisa jadi Pemerintah Kota secara sengaja telah melakukan pemiskinan rakyatnya sendiri, yang tentunya ini bisa menjadi persoalan diawal Pemerintahan Jokowi-Rudi dalam periode kedua memerintah Kota Surakarta. Satu-satunya harapan para pemulung adalah; jangan biarkan rakyat miskin menjadi lebih miskin lagi akibat kebijakan legislasi yang salah dari Pemerintah Kota Surakarta. Dan perkembangan terakhir, raperda tersebut telah sah menjadi Perda Pengelolaan Sampah. Serta mendapat persetujuan dari anggota Dewan. Meski telah di sah-kan menjadi Perda, masyarakat masih tetap tidak tahu hingga sekarang, bagaimana sebenarnya isi Perda Pengelolaan sampah tersebut. Sebuah perda misteri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H