Keadaan perekonomian Indonesia sangat memprihatinkan, dan pertumbuhannya hingga saat ini dapat digambarkan sebagai ukuran keberhasilan proses yang didasarkan pada kinerja pemerintahan yang dipimpin oleh presiden dan kabinet pada saat itu. Hal ini diharapkan dengan mengacu pada makalah jurnal "Survei Perkembangan Terkini" (Kuncoro & Resosudarmo, 2006) serta sejumlah referensi dan publikasi yang menguatkan yang dimasukkan dalam referensi. Terhadap kinerja tim ekonomi kabinet Susilo Bambang Yudhoyono pasca reshuffle yang terjadi awal Desember 2006 kemarin, masyarakat cenderung menyambut baik susunan kabinet baru tersebut.
Menurut pernyataan itu, ada tren penggantian. Hal ini disebabkan penilaian masyarakat terhadap kinerja sebelumnya yang dinilai kurang berhasil karena berbagai faktor. Lambatnya pembayaran atau pengeluaran pemerintah berdasarkan anggaran yang direncanakan, dibuktikan dengan angka pertumbuhan yang menunjukkan tingginya konsumsi pemerintah pada semester I tahun 2005, menjadi salah satu hal yang menjadi penyebab persepsi tersebut. Akibatnya, baik departemen pemerintah pusat maupun daerah tidak mampu memaksimalkan penggunaan anggaran yang tersedia. Kedua, kecenderungan terhadap pertumbuhan ekonomi yang lambat dengan tren negatif, dimana kemajuan yang telah dicapai selama ini dianggap tidak signifikan dibandingkan dengan kebutuhan Indonesia akan pembangunan dan perbaikan infrastruktur. Sejarah perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa, selain berhasil menurunkan angka kemiskinan, juga berhasil menjaga tingkat disparitas dalam perekonomian. Distribusi pendapatan diperkirakan tidak akan banyak berubah ketika terjadi pembangunan ekonomi yang signifikan, yang biasanya terjadi pada tingkat yang sama. Kasusnya terjadi pada awal fase perkembangan. Dari tahun 1965 hingga 1970, Tingkat pertumbuhan PDB rata-rata Indonesia masih tergolong rendah. rendah sekitar 2,7%, dan koefisien Gini yang khas untuk masing-masing negara 0,35 tahun. Tingkat pertumbuhan PDB dari tahun 1971 hingga 1980 lebih banyak lagi, rata-rata tahunan sebesar 6% dengan koefisien Gini rata-rata tahunan sedikit lebih tinggi dari 0,4.
Artinya, pada era tersebut, pertumbuhan sebenarnya cukup baik namun ketimpangan pendapatan yang diukur dari distribusi dan pengeluaran konsumsi semakin parah. Sebaliknya, PDB tumbuh sebesar 5,4% per tahun antara tahun 1981 dan 1990, sedangkan rata-rata koefisien Gini tahunan sedikit di atas 0,3. Sekalipun tahun-tahun tertentu berbeda dengan tahun-tahun lainnya, terjadi pergeseran koefisien. Berdasarkan koefisien Gini, tingkat ketimpangan distribusi pendapatan negara tersebut menurun pada tahun 1980an dibandingkan dengan tahun 1960an hingga tahun 1970an. Mirip dengan negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara, koefisien Gini di Indonesia meningkat pada awal tahun 1990an sebelum kembali menurun drastis menjadi 0,32 pada tahun 1998. Koefisien Gini kemudian sedikit meningkat menjadi 0,33 pada tahun 1999 sebelum menjadi cukup stabil hingga awal tahun 2000an. Selain disparitas pendapatan, ketimpangan ekonomi juga terjadi di Indonesia antar wilayah, misalnya antar provinsi. Kawasan perkotaan dan proses transisi perekonomian menuju perekonomian modern mendorong terciptanya sektor-sektor yang semakin produktif yang mendominasi perekonomian nasional. Di satu sisi, sektor-sektor tersebut semakin terkonsentrasi di beberapa daerah karena kondisinya yang unik sehingga paling menguntungkan karena tersedianya sumber permodalan, infrastruktur, sumber daya manusia, dan sumber daya pendukung utama lainnya. Di sisi lain, hal ini menyebabkan peningkatan ketimpangan ekonomi antardaerah dan provinsi di Indonesia.
Kelompok provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera masih mendominasi struktur geografis perekonomian Indonesia pada Triwulan II tahun 2010. Provinsi di Pulau Jawa memberikan kontribusi terhadap PDB Indonesia sebesar 57,5 persen, dan 23,7 persen diberikan oleh provinsi di Pulau Sumatera. . Sisanya sebesar 9,6% berasal dari Kalimantan, 4,6 persen dari Sulawesi, 2,7 persen dari Bali dan Nusa Tenggara, serta 1,9 persen dari Maluku dan Papua (Tabel 6.6). Saat ini, DKI Jakarta sendiri menyumbang hampir 20% PDB Indonesia. Sebaliknya, total PDB wilayah Jabodetabek jika digabungkan dengan Bodetabek kira-kira berkisar antara 30 hingga 35 persen PDB Indonesia.
Pada triwulan IV tahun 2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,04 persen (year on year/yoy), sedikit lebih tinggi dibandingkan perkiraan pemerintah sebesar 5 persen. Pendorong utama ekspansi ekonomi adalah meningkatnya tingkat investasi dan belanja konsumen. PDB Indonesia, yang sebagian besar terdiri dari belanja rumah tangga, diperkirakan meningkat sebesar 4,82 persen pada tahun 2023. Faktor utama yang mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga adalah program bantuan sosial pemerintah dan kenaikan upah minimum. Meskipun terdapat permasalahan yang ditimbulkan oleh perekonomian global dan meningkatnya inflasi, peningkatan belanja rumah tangga menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih tetap terjaga.
Sementara itu, realisasi program pembangunan infrastruktur turut mendorong peningkatan investasi sebesar 4,40 persen. Kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia terlihat jelas meskipun pertumbuhan investasi melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Investor tertarik ke Indonesia karena potensi pasarnya yang besar, stabilitas politik, dan pertumbuhan ekonominya. Sebagai hasil dari upaya pemerintah untuk menurunkan defisit anggaran, pengeluaran pemerintah akan turun menjadi 2,95 persen pada tahun 2023. Meskipun demikian, inisiatif pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan program bantuan sosial pemerintah memungkinkan pengeluaran pemerintah memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Baik impor maupun ekspor meningkat. Pasar komoditas pokok Indonesia yang relatif kuat di seluruh dunia---batubara, minyak sawit, dan karet---merupakan pendorong utama pertumbuhan ekspor negara ini. Sementara itu, kebutuhan barang modal dan bahan baku untuk menopang ekspansi ekonomi menjadi pendorong utama peningkatan impor. Hal ini menunjukkan kemampuan Indonesia yang terus bersaing di kancah dunia. Pertumbuhan ekonomi riil sepanjang tahun 2023 akan mencapai 5,05 persen, lebih rendah dibandingkan kenaikan 5,31 persen yang tercatat pada tahun 2022. Karena melemahnya perekonomian dunia dan dampak kenaikan harga terhadap output dalam negeri, hal ini sesuai dengan perkiraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H