Mohon tunggu...
zainal ilyas
zainal ilyas Mohon Tunggu... -

Keahlian akademik adalah teknik, sekarang sudah pensiun. Peminatan disamping bidang teknik dan sains adalah bahasa (bukan sastra), sejarah, humaniora. Suka membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Anti Tawuran dari Film Cowboy dan Novel

30 September 2012   11:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:27 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Satu Lawan Satu

Zaman saya masih ABG, adalah kebiasaan kami untuk menonton hampir setiap film cowboy yang diputar dibioskop di kota kami. Saya masih ingat film-film yang dibintangi Roy Rogers, Kirk Douglas, Audie Murphy dan lain-lain.

Begitu juga kami seakan berlomba membaca buku-buku novel dan cerita-cerita petualangan yang berasal dari Barat, seperti Tiga Panglima Perang (terjemahan The Three Musquetir) karangan Alexander Dumas, Buku-buku karangan Karl May (Raja Minyak, Winnetou Gugur, Di Sudut-Sudut Balkan, dan berbagai karangan cerita fiksi lainnya), dan lain-lain.

Tanpa terasa, kami mengikuti pola berfikir dan pola bergaul sebagaimana cara yang ditunjukkan oleh film-film cowboy itu dan juga sebagaimana yang diceritakan dalam cerit-cerita fiksi yang indah itu. Tentang apa? Ya tentang sifat ksatria (gentleman) yang ditunjukkan dalam film maupun yang diceritakan dalam buku-buku fiksi itu

Zaman kami masih SMP atau SMA, tak pernah ada tawuran atau keroyokan. Semua pelajar zaman itu boleh dikatakan pada umumnya bersifat ksatria. Kalau ada yang berbeda faham sehingga perlu diselesaikan secara jantan, maka dilakukan persis seperti dalam film-flim cowboy itu.  SATU LAWAN SATU.  Pada umumnya tanpa senjata tajam.  Beramai-ramai teman kami yang bisa saja ada yang berpihak, tapi tak pernah ikut berkelahi, mengajak kedua yang akan "duel" ketempat yang tidak di keramaian, biasanya lapangan bola atau sekitar kuburan yang berada masih dalam kota. Kami penonton sekaligus sebagai wasit (jadi wasitnya banyak, hampir semua kami, para penonton). Bila telah ada yang mengaku kalah, ya perkelahian selesai dan bersalaman, tidak ada dendam. Sering juga ada yang tak mau mengaku kalah, namun bila sudah terlihat gejala akan bahaya fatal, kami beramai-ramai menghentikan perkelahian dan kedua fihak wajib berhenti berkelahi, juga salam-salaman, tanpa dendam. Kalaupun ada dendam, tidak akan pernah ada yang memukul dari belakang, mencuri memukul tanpa menantang dulu. Sangat sesuai sengan cara-cara cowboy: Tidak ada cowboy menembak lawan tanpa berhadapan dan saling memegang senjata. Adalah ternista dalam pergaulan kami, bila ada yang mencuri memukul lawan dari belakang.

Bagaimana kalau ada yang menantang berkelahi pakai senjata tajam? Bila tantangan diterima, tetap saja kami meniru gaya Arthos. Portos dan Aramis dari cerita The Three Musquetir itu. Seperti diceritakan dalam Tiga Panglima Perang itu, apabila lawan telah terluka oleh sabetan pedang (jarang terjadi luka parah) maka perkelahian wajib berhenti. Ketiga mereka, termasuk d'Artagnan, panglima ke empat yang justru paling berpengaruh, selalu mengikuti budaya berkelahi kesatria seperti itu.  Nah kalau dalam perkelahian bersenjata antar teman kami terjadi, senjata yang boleh digunakan hanya pisau lipat kecil dengan ukuran hampir sama.  Tusukan tidak diarahkan ketempat yang mematikan, biasanya hanya tangan kaki atau paha yang disabet. Bila sudah ada yang berdarah, kami yang jadi wasit segera menghentikan perkelahian, bersalaman dan tak ada dendam. Bila ada yang berani menusuk dari belakang berarti ia akan dilawan semua orang, dikucilkan, bahkan bisa jadi urusan polisi (hampir tidak pernah kami berurusan dengan polisi, kecuali waktu minta Surat Keterangan Berkelakuan Baik).

Dan diantara teman-teman kami yang kami adu secara jantan itu ada yang masuk militer, sekarang pensiunan Jenderal Bintang Dua, masuk Polisi, sekarang banyak yang jadi pensiunan Kolonel (KomBes sekarang), namun ada juga yang jadi Insinyur, Dokter, Mr (Sarjana Hukum sekarang).

Dari pengalaman tersebut, saya berkhayal, kenapa tidak kita mulai mewajibkan anak-anak mulai kelas satu SMP membaca buku-buku kekesatriaan seperti itu, memutar film-film cowboy lama di sekolah-sekolah menengah untuk menanamkan jiwa ksatria dalam diri mereka.  Kebiasaan sekarang yang merusak jiwa mereka adalah game-game di internet yang cuma berisi kesadisan, kelicikan, asal menang dengan segala cara. Anak-anak jadi terbiasa dan bisa meniru perilaku tak berbudaya seperti itu, apalagi bila orang tua tak ikut menanamkan budaya disiplin dalam diri amak-anak.  SEHINGGA  TAWURAN ANTAR SEKOLAH  BISA HAPUS ATAU BERKURANG.

Semoga Depmendikbud bisa mempertimbangkan usul ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun