Mohon tunggu...
Zainab Nur Hidayah
Zainab Nur Hidayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

memiliki hobi badminton

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Hukum Positivisme di Indonesia: Studi Kasus Mbah Samirin

26 September 2024   14:30 Diperbarui: 26 September 2024   14:31 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kasus seorang kakek berusia 68 tahun bernama Samirin di Sumatera Utara divonis hukuman penjara selama 2 bulan 4 hari oleh Pengadilan Simalungun, Samirin dihukum akibat terbukti bersalah memungut sisa getah pohon karet di perkebunan milik PT Bridgestone. Ia terbukti mengambil getah seberat 1,9 kilogram yang jika dirupiahkan sekitar Rp 17.000. Getah itu akan ia jual kepada para pengumpul getah agar mendapatkan uang. Namun, belum juga ia meninggalkan area kebun, seorang petugas memergokinya dan membawanya ke pos satpam. Perusahaan pun melaporkan pada kepolisian. Kepada hakim, Samirin mengaku melakukan hal itu karena membutuhkan uang untuk membeli rokok.

Apabila kita hanya melihat dasar yuridis saja, maka apa yang terjadi dalam kasus tersebut tidaklah keliru apabila kakek Samirin harus menempuh proses hukum dikarenakan dalam Pasal 362 KUHP bahwa barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum disebut pencurian.

Alih-alih mengutamakan penegakan hukum demi tercapainya kepastian hukum, di sisi lain menimbulkan sebuah pandangan yang aneh berkaitan sistem hukum yang ada di Indonesia. Begitu kakunya hukum di Indonesia sehingga hanya kepastian hukum saja yang diutamakan, padahal rasa keadilan tentu juga sangat harus diperhatikan dalam menyelesaikan setiap perkara. Hal inilah yang kemudian membentuk sebuah moralitas hukum yang sangat kaku dan rigid seolah tidak ada keluesan yang dimilikinya.

Hukum dianggap berjalanan seperti mekanisme mesin saja, maka kemudian yang akan terjadi adalah kehidupan yang serba diterministik yang memiliki makna serba terukur dan ditentukan. Seolah tidak ada kreasi lagi yang dimiliki manusia karena semua serba ditentukan oleh sistem yang mengikat layaknya mesin.

Kasus kakek Samirin, seharusnya penegak hukum lebih berani untuk memberikan hukuman lain selain pidana penjara. Apalagi, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Peraturan MA (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 mengenai penyesuaian batasan tiindak pidana ringan dengan jumlah denda dalam KUHP. Jika sebelumnya yang nilainya kurang dari Rp250, kini diubah menjadi Rp2,5 juta.

Kesimpulan : 

Mazhab Hukum Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam(empiris) sebagai salah satu sumber pengetahuan yang benar dan menolak spekuliasi dari suatu filosofis atau metafisik.

Argumen saya tentang hukum positivisme dalam hukum di Indonesia yaitu hukum di negara ini masih ada yang tebang pilih yang runcing ke bawah dan tumpul ke atas. Sehingga hukum positif akan dijalankan dengan cepat tanpa melihat sosio histori dari perbuatan yang dianggap tindak pidana. Hukum bukanlah suatu hal yang mati tetapi hukum selalu bergerak dinamis dan mengikuti perkembangan zaman.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun