Layaknya proses pendidikan, bulan ini kita sejatinya sedang menghadapi ujian kenaikan tingkat. Karena itu, sebagian ulama menyebut bulan Ramadhan sebagai “Syahrul Imtihan”, bulan ujian. Maka dengan kurikulum berbasis iman dan peserta didiknya orang-orang mu’min, diharapkan dalam proses pendidikan selama sebulan ini akan keluar lulusan yang akan menyandang gelar MM alias Mu’min Muttaqin.
Permasalahannya, apakah semua kita yang sedang menempuh ujian Ramadhan ini bisa lulus dengan meraih gelar “MM” itu..? Wallahu-a’lam, hanya Allah yang tahu. Apalagi gelar itu tidak dilampiri ijazah. Pasti sulit kita mengetahui nilai kelulusan seseorang. Jangankan ijazah dari Allah yang ghaib, ijazah dari manusia yang nyata saja, kita bisa dibuat bingung dengan “kelihaian” manusia yang makin pinter menyamarkan kepalsuan ijazah lembaganya. Maka untuk mengetahui kelulusan seseorang, kita “hanya” bisa melihat indikasi yang tertampilkan dalam kesehariannya pasca ujian Ramadhan yang telah dilampauinya.
Pertama,disiplin waktu.
Selama Ramadhan, kita begitu “tegas” dalam menjaga ketepatan waktu. Bahkan, ibarat undangan, kita hadir sebelum jadwal yang ditentukan. Lihatlah rumah-rumah makan, atau rumah kita sendiri. Saat Maghrib pukul 17.30, ternyata kita sudah hadir di meja hidangan, sepuluh menit sebelumnya. Begitu juga saat memulai puasa. Sepuluh menit sebelum “start”, kita sudah menahan diri untuk tidak menyentuh hidangan lagi. Sehingga ketika azan Subuh berkumandang, mulut kita betul-betul sudah bersih dari makanan.
Jika kita masuk kategori lulus dengan nilai baik, tentu pasca Ramadhan kepedulian kita terhadap waktu meningkat. Kita akan shalat di awal waktunya, tidak lagi molor seperti kemarin. Begitu juga dalam bermuamalah. Kita akan penuhi undangan sesama sesuai waktu yang tertera sehingga jam karet sudah tidak kita kenal lagi.
Kedua, solidaritas.
Lapar dan dahaga yang kita rasakan selama berpuasa, sesungguhnya sebuah pembelajaran untuk menumbuhkan empati pada saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Dari situ akan membuahkan ikatan solidaritas sesama muslim tanpa disekati status sosial ekonomi yang berbeda.
Maka nilai kelulusan yang baik adalah manakala setelah idul fitri, kita menjadi lebih rendah hati dan “down to earth” dalam pergaulan dengan berbagai kalangan yang –baik secara materi maupun keilmuan- lebih rendah di mata kita. Terlebih kerendahan hati itu berbuah kesediaan berbagi. Tentu itu wujud nilai kelulusan yang sempurna.
Ketiga, pengendalian diri.
Ketika yang halal dan berpahala, menjadi terlarang dan berdosa di saat bulan Ramadhan, jelas sekali seolah Allah hendak mengukur sekuat apa kepatuhan kita pada-Nya untuk mengalahkan dorongan nafsu diri. Kemampuan kita mensubordinasikan kehendak nafsu di bawah kehendak Tuhan di saat Ramadhan, memiliki dampak yang luar biasa dalam menyikapi kehidupan yang penuh godaan, setelah idul fitri. Tinggal, apakah kepatuhan kita itu hanya berhenti di akhir Ramadhan ataukah justru makin menguat sesudahnya.
Apabila setelah Ramadhan, kepatuhan kita makin kuat dengan menjadikan Allah dan Rasulnya sebagai prioritas utama acuan perilaku keseharian kita, maka bisa jadi nilai kelulusannya berpredikat cum-laude.