Mohon tunggu...
Zaimuddin As'ad
Zaimuddin As'ad Mohon Tunggu... karyawan swasta -

pelayan pada pondok pesantren dan universitas pesantren tinggi darul'ulum (UNIPDU) Jombang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

ISIS yang Kita Pupuk

8 Agustus 2014   15:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:04 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang isteri yang suaminya menikah lagi, selalu berkecenderungan melabrak suami atau wanita madunya, tanpa kesadaran untuk bertanya pada diri sendiri : “ada apa dengan saya, sehingga suamiku yang selama ini tampak setia, tertambat pada seorang wanita lagi.?”

Analogi itulah yang sekarang tepat sekali untuk menggambarkan kegaduhan ummat dan tokoh-tokoh agama kita ketika menghadapi ribut-ribut “cuci otak” khilafah ala ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Di media cetak maupun elektronik, mayoritas narasumber mencerca para perekrut dan para ideolog ISIS yang menyeret anak-anak bangsa dalam perlawanan terhadap kemapanan.

Kita harus arif menyikapi realitas itu dengan penuh kesadaran untuk ber”ibda’ bi nafsik”, memulai dari diri sendiri dalam mencermati munculnya suatu masalah. Betapapunmassivekutukan yang kita alamatkan pada “pejuang” ISIS , akan sia-sia bila kita tidak melihat bahwa kita hidup dalam dunia yang berpasangan antara “aksi” di satu sisi dan “reaksi” di sisi lain.

Masalahnya, bagaimana kita bisa mereaksi suatu aksi tanpa membuang energi secara sia-sia sehingga upaya mencapai tujuan mewujudkan NKRI yangbaldatun thoyyibatun wa robbun ghofuurberdasarkan Pancasila ini, bisa mendekati harapan.

Kesadaran Amaliah

Cukup sudah kita mengumbar amarah dan kutukan pada gerakanmassive ISIS. Sekarang saatnya kita ber-muhasabah(introspeksi), bertanya pada diri sendiri: mengapa sebagian ummat atau anak-anak kita itu tertarik pada ideologi yang mereka “tawarkan” sehingga menanggalkan ajaran Islam “mainstream” (NU, Muhammadiyah, Al Irsyad) yang kita dakwahkan ?.

Perlu diperhatikan bahwa sasaran utama cuci otak adalah generasi muda yang penuh idealisme. Secara psikologis, individu seusia itu sedang semangat-semangatnya melakukan pencarian jati diri melalui daya kritisnya yang sedang tumbuh dipicu mulai terbukanya pola pikir mereka terhadap wacana yang berkembang.

Begitu mereka menyimpulkan betapa ajaran Islam yang selama ini mereka pedomani ternyata tidak menemukan relevansi di lapangan, memerciklah keragu-raguan: jangan-jangan ada yang salah dengan penyampai atau materi kajian Islam yang sejak kecil mereka terima itu. Misalnya, ajaran yang mereka terima bahwa perzinaan, perjudian, penindasan dan pencurian uang rakyat (korupsi) adalah haram, tapi mengapa hal itu terjadi tanpa perlawanan dari mayoritas penduduk yang muslim ini. Kegusaran yang merasuki otak dan hati mereka itu mendorong pencarian jawaban terus-menerus, sampai pada akhirnya mereka bertemu dengan orang yang menawarkan jawaban: “ya begini inilah kalau Indonesia tidak diatur dengan syatiat Islam, untuk itu mari bergabung bersama kami menjadi bagian kejayaan Islam dunia”

Gayung pun bersambut, maka tanpa mereka sadari, mereka mempersilakan para pendoktrin untuk menggarap otaknya dengan menyuntikkan pesan-pesan dogmatis yang memerangkap mereka dalam ruang kedap nasihat saudara seiman yang lain, sampai-sampai tega mengafirkan orangtua mereka yang Islamnya tidak sealiran.

Lepas dari apakah indoktrinasi itu dibarengi dengan praktek-praktek mistis atau ancaman fisik, yang jelas dari gambaran di atas terlihat bahwa awal petaka adalah munculnya kegusaran pada anak-anak kita.

Maka proyek besar kita untuk menghindarkan anak bangsa ini dari pengaruh perekrut ISIS adalah semaksimal mungkin menekan munculnya kegusaran dengan berbagi tugas bersama Aparat dan tokoh-tokoh masyarakat (kiai/ustadz/guru) untuk menyelaraskan antara ajaran Islam tekstual-kontekstual dengan aktivitas ummat dan perilaku pemegang amanat di tataran praksis.

Pendeknya, pengakuan keislaman kita jangan hanya di lisan tapi harus memancar dalam amaliah keseharian  di berbagai sektor kehidupan. Lebih-lebih bagi anda para pemegang  amanat kenegaraan dan keummatan.  Sadarilah bahwa ketika kita mengabaikan tuntunan agama, secara tidak langsung kita memupuk benih-benih ISIS untuk tumbuh subur merambah pola pikir anak bangsa. Celakanya, sepengamatan saya, itulah yang terjadi saat ini.. Wallahu'alam bishshawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun