Pada dasarnya seorang muslim tidak dimintai tanggung jawab atas apa yang tidak diketahuinya. Seorang muslim juga tidak dituntut untuk menanyakan secara detail terhadap makanan yang akan dikonsumsi-nya tentang bagaimana menyembelihnya apakah telah memenuhi syarat atau tidak. Untuk mengkonsumsi cukuplah bagi dia mengetahui bahwa sembelihan itu berasal dari sembelihan seorang muslim.[1] Ketentuan umum menyatakan bahwa sembelihan seorang muslim adalah halal. Sehingga ketika telah diketahui bahwa daging berasal dari sembelihan seorang muslim, cukup bagi dia untuk meyakini bahwa daging tersebut halal.
Demikian pula terhadap produk pangan olahan yang dibuat oleh orang muslim, cukup bagi seorang muslim lainnya untuk meyakini kehalalannya tanpa harus memeriksa dan menanyakan secara detail cara memasaknya. Hal ini merupakan bagian dari ciri ajaran Islam yang mudah dan tidak mempersulit, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّه عَنْهَا أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ
Dari `Aisyah Ra sesungguhnya ada suatu kaum bertanya kepada Nabi Saw: “sesungguhnya sekelompok orang datang kepada kami dengan membawa daging, namun kami tidak tahu apakah disebut nama Alllah atau tidak (dalam penyembelihannya), Maka Rasulullah Saw bersabda: ‘Sebut Asma Allah atasnya, dan makanlah. (HR. al-Bukhari, No. 1916)
Bahkan para salaf al-shaleh cenderung meng-hindari menanyakan sesuatu secara berbelit-belit dan mendetail karena hal itu dikhawatirkan justru malah mempersulit diri. Rasulullah Saw telah bersabda:
فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk memberikan kesulitan.” (HR al-Bukhari, al-Tirmidzi dan Ahmad)
Al-Qur’an sendiri mengecam perilaku bertanya berbelit-belit yang justru menyusahkan diri sendiri.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu (QS. al-Ma’idah [5]: 101)
Berangkat dari prinsip ini para ulama membuat kriteria bahwa sembelihan yang berasal dari daerah muslim adalah halal, sekalipun seseorang tidak mengetahui secara pasti proses penyembelihannya. Demikian pula makanan yang dimasak oleh seorang muslim adalah halal. Dengan demikian, masalah halal haram berkaitan dengan makanan dan minuman memang sederhana. Lebih-lebih apabila melihat bahwa bahan makanan dan minuman yang diharamkan macam dan jenisnya terbatas.Cukuplah bagi seorang muslim menghindari jenis-jenis makanan yang diharamkan tersebut. Di luar hal itu, pada asalnya halal atau mubah, sesuai dengan kaidah al-ashlu fi al-asyyȃ’ al-ibȃhah hattȃ yadulla al-dalilu `alȃ tahrîmihȃ(asal segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya).
Namun, realitas yang ada saat ini menjadi tidak sederhana. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan yang ditunjang dengan perkembangan teknologi yang pesat, telah melahirkan fenomena baru yaitu beredarnya aneka macam produk bahan baku pangan, produk pangan olahan siap konsumsi, produk kosmetika dan obat-obatan yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Diantara produk itu ada yang dibuat di wilayah-wilayah non muslim. Produk-produk daging yang berasal dari sembelihan non muslim pun masuk ke pasar bebas, ada yang dalam bentuk daging mentah, ada yang sudah menjadi produk daging olahan seperti sosis, dendeng, bakso, dan sebagainya. Bahkan ada yang sudah menjadi produk turunan daging dan lemak hewan seperti berbagai jenis perisa, produk-produk ester asam lemak dan sebagainya yang susah untuk diidentifikasi asal usulnya. Produk olahan atau masakan yang dibuat oleh orang Islam pun tidak murni bahan-bahannya berasal dari orang Islam sendiri. Produk nasi goreng, roti, dan kue misalnya, sekalupun yang memasak orang Islam, tetapibahan-bahannya tidak semua diketahui asal-usulnya oleh yang memasak.
Fenomena baru ini telah memicu persoalan yang rumit yaitu adanya kemungkinan terjadinya ikhtilȃth (percampuran) antara yang halal dan yang haram antara yang suci dan yang najis. Lebih-lebih apabila produk-produk olahan ini dibuat di negeri yang mayoritas penduduknya non muslim.
Sebagai contoh, produk minuman yang sebelumnya dibuat secara alami dari sari buah, bisa diganti dengan flavor (zat pemberi aroma/perisa) yang mempu-nyai aroma sama dengan buah. Bahkan ternyata produk minuman sari buah pun masih harus ditambah dengan flavor untuk memperkuat aromanya. Produk-produk lain yang menggunakan aroma buah seperti sele, jam, jelly, agar-agar sering kali juga menggunakan flavor. Flavor-flavor buah merupakan bahan yang umumnya mengandung senyawa-senyawa ester yang merupakan hasil reaksi dari berbagai jenis asam lemak yang sumbernya bisa saja dari hewani atau nabati. Bila dari sumber hewani tidak menutup kemungkinan berasal dari babi atau jika dari sapi juga masih harus diketahui apakah sapinya disembelih sesuai dengan syari'at Islam atau tidak, karena banyak dibuat di negara-negara non muslim. Karena itulan produk-produk yang mengguna-kan flavor sudah barang tentu patut dicermati.
Produk permen agar terasa lunak dan kenyal dikembangkan teknologi soft candy (permen lunak) yang menggunakan bahan gelatin. Gelatin merupakan bahan yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yang terdapat pada tulang atau kulit binatang terutama sapi dan babi. Kebanyakan produsen gelatin khususnya di Eropa ternyata tidak melakukan pemilahan apakah gelatin itu berasal dari babi atau sapi. Demikian juga tidak diper-hatikan apakah sapi disembelih secara Islam atau tidak. Padahal produsen gelatin yang besar justru dari Eropa.
Gelatin merupakan suatu bahan yang mempunyai penggunaan cukup luas, disamping untuk soft candy juga berfungsi sebagai thickening agent (pengental) dan suspending agent (penstabil suspensi). Dalam industri farmasi selain digunakan sebagai pengental dan penstabil juga merupakan bahan untuk cangkang kapsul baik kapsul keras maupun lunak. Dalam industri makanan gelatin mempunyai penggunan yang luas antara lain sebagai salah satu bahan baku dari jeli, es krim, dan roti. Berarti produk-produk yang memanfa-atkan bahan gelatin patut dicermati kehalalannya.
Berbagai jenis produk makanan memanfaatkan emulsifier sebagai penstabil. Padahal emulsifier keba-nyakan adalah turunan lemak. Jika berasal dari negara-negar non muslim sudah tentu harus diketahui sumber lemaknya, halal atau haram.
Proses produksi keju dan produk sampingnya seperti wey, casein, serta gula susu melibatkan peng-gunaan enzim yang bisa jadi berasal dari anak sapi yang tidak disembelih secara Islam, bahkan bisa dari babi. Padahal produk-produk seperti wey dan gula susu penggunaannya sangat luas khususnya dalam berbagai produk susu formula.
Proses penyembelihan agar efisien, praktis dan cepat, dikembangkan metode stunning (pemingsanan). Yang patut dikritisi apakah pemingsanan yang dilakukan tidak sampai membuat hewan yang dipingsankan mati? Jika hewan yang dipingsankan mati maka menjadi bangkai yang haram dikonsumsi.
Produk roti agar bisa halus, mengembang dengan baik perlu diberi improver (pengembang) dan yiest (ragi). Improver maupun yiest merupakan bahan yang komplek karena mengandung komponen lebih dari satu bahan yang diantanya termasuk komponen bahan turunan lemak yang harus dicermati halal haramnya.
Berbagai produk kosmetik memanfaatkan plasenta manusia sebagai bahan bakunya, karena plasenta manusia disinyalir dapat memperbaiki keremajaan kulit wanita.
Diluar itu juga banyak terdapat kasus penyim-pangan yang disengaja, bahkan dilakukan oleh oknum orang Islam sendiri, seperti mencampur daging sapi dengan daging babi hutan untuk dendeng.
Juga terdapat kasus penggunaan peralatan campur yang semakin marak seperti kasus restoran yang menye-diakan beef steak (steak sapi) sekaligus juga menyedia-kan bacon steak (steak babi). Kasus produsen bakso yang membuat bakso babi dan bakso sapi, kasus adanya penyedia jasa penggilingan daging yang tidak selektif karena menerima segala jenis daging, dan sebagainya.
Bahan-bahan atau produk-produk sebagaimana contoh-contoh di atas merupakan bahan atau produk yang kritis halal. Artinya sangat mungkin terkontaminasi dengan yang haram atau bahkan merupakan bahan yang haram. Sementara itu, tidak setiap konsumen muslim mampu mengidentifikasi. Dengan demikian, produk-produk tersebut tepatnya dapat dikelompokkan sebagai barang yang syubhat (samar/tidak jelas halal haramnya). Bagi kebanyakan umat Islam jelas hal ini bukanlah persoalan sepele karena dampak yang ditimbulkannya sangatlah serius.
Rasulullah Saw dalam sabdanya telah menjelaskan bahwa diantara yang halal dan yang haram terdapat area abu-abu, tidak jelas apakah masuk kategori halal ataukah kategori haram yang disebut syubhat. Rasulullah juga menegaskan bahwa terhadap yang syubhat ini kebanya-kan manusia tidak mampu mengetahuinya secara pasti.
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ
“Sesungguhnya yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Diantara yang halal dan yang haram ada hal-hal yang musytabihat (samar), kebanya-kan manusia tidak mengetahui hukumnya”. (H.R. Muslim no.2996)
Sinyalemen yang disampaikan oleh Rasulullah Saw ini persis dengan kondisi yang saat ini terjadi. Kendatipun pada asalnya yang haram sedikit bahkan hanya kekecualian, sementara yang halal jauh lebih banyak, namun ada indikasi setelah mengalami pengola-han adanya peluang terjadi percampuran antara yang halal dan yang haram. Peluang inilah yang menimbulkan keraguan, apakah produk-produk olahan bisa dijamin terbebas dari kontaminasi dengan bahan-bahan yang diharamkan atau tidak.
Jika pada waktu yang lalu kehalalan dan kesucian makanan dan minuman bukan suatu persoalan karena bahannya jelas-jelas halal dan cara memprosesnya pun sederhana, tidak bermacam-macam, maka saat ini menjadi tidak sederhana. Tak salah bila ada yang bertanya bolehkah kita mengkonsumsi minuman ini atau makanan itu? Bagi seorang muslim, mempertanyakan hal seperti ini adalah wajar, karena hal ini bagian dari wujud keimanan yang melekat dalam hati.Mereka menyadari bahwa kehalalan makanan mutlak harus diperhatikan karena hal ini menentukan diterima dan tidaknya amal ibadah.
Keadaan seperti inilah yang melatarbelakangi lahirnya sertifikasi halal. Sertifikasi halal merupakan upaya penelusuran mendalam untuk mengetahui secara pasti apakahbahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan suatu produk makanan atau minuman serta proses produksinyatelah terjamin halal dan konsisten atau belum. Adanya sertifikat halal dimaksudkan agar konsumen muslim terlindungi dari produk-produk yang tidak halal. Kebijakan sertifikasi halal ini berangkat dari keyakinan bahwamencari yang halal adalah wajib. Selain itu juga karena ada perintah untuk menghindari perkara yang syubhat.
طَلَبُ اْلحَلَال وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
‘Mencari yang halal wajib bagi setiap orang Islam[2]
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ
Barang siapa berhati-hati dari perkara syubhat, ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barang siapa terjerumus kepada perkara subhat, maka ia terjerumus kepada yang haram, seperti pengembala yang menggembakan ternaknya di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir tak terhidarkan ia akan melanggar larangan itu.(H.R. Muslim no.2996)
[1] lihat pendapat al-Qardhawi dalam al-Halal wa al-Haram fi al-Islam hal. 60 dan fatwa Syeikh Abd al-Aziz bin Baz sebagaimana dikutip Syeikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam bukunya Fiqih Makanan, hal. 191-192
[2]HR al-Thabarani, dalam al-Ausath Juz VIII /hal. 272 Hadits No. 8610,dengan sanad hasan (lihat Majma‘ al-Zawa’id tahqiq Abdullah Muhammad al-Darwîs Juz X/hal 520)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI