Mohon tunggu...
Zaidan Zuhri
Zaidan Zuhri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Ilmu Kesehatan Prodi Kesehatan Masyarakat Kader IMM Cabang Ciputat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tekan Laju Angka Pernikahan Dini di Indonesia

9 Juni 2021   22:22 Diperbarui: 9 Juni 2021   23:05 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumen pribadi

Penambahan kurikulum tentang pernikahan dini di dunia pendidikan sangatlah berpengaruh kepada anak-anak yang duduk di bangku sekolah. Ilmu tentang pernikahan dini harus mereka dapatkan sejak awal untuk mengetahui dampak akibat pernikahan dini. Oleh sebab itu pentingnya penerapan seks edukasi dalam dunia pendidikan, dimana angka pernikahan dini di Indonesia masih sangat tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, angka pernikahan dini di Indonesia pada tahun 2018 mencapai 1.220,9 orang per 1000 penduduk atau berjumlah 1.220.900 orang. Selain itu berdasarkan data per provinsi di Indonesia terdapat 3 provinsi yang memiliki angka pernikahan dini paling tinggi diantaranya Provinsi Jawa Barat (13.26%), Jawa Tengah (11.04 %), dan Sulawesi Selatan ( 11.2%).

Kementerian PPPA (2021) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara kedua dengan angka pernikahan dini tertinggi di Asia Tenggara setelah Kamboja. Pada tahun 2019 hingga 2020 diketahui terjadi penurunan sebanyak 0,6%, tetapi angka ini masih jauh dari target yaitu sebanyak 8,74% pada tahun 2024 nantinya. Pernikahan dini (early mariage)  merupakan   suatu   pernikahan   formal   atau  tidak formal yang dilakukan oleh anak dibawah usia 18 tahun  (UNICEF,  2015). 

Menurut WHO pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan yang masih dikategorikan  anak-anak  atau  remaja  yang  berusia  dibawah 19 tahun. Sedangkan menurut BKKBN pernikahan dini adalah pernikahan yang berlangsung dibawah usia produktif dimana pada wanita itu kurang dari 20 tahun dan pada pria itu kurang dari 25 tahun.

Dampak pernikahan di usia yang relatif muda sangat  rentan untuk terjadinya masalah  kesehatan reproduksi seperti: meningkatkan  angka  kesakitan dan kematian pada saat persalinan dan nifas, melahirkan bayi prematur dan berat bayi lahir rendah serta mudah mengalami stress. Selain itu pernikahan di usia dini juga rentan terhadap perceraian, KDRT dan kemiskinan sehingga dapat menyebabkan masalah ekonomi dan sosial. 

Berdasarkan data BPS 2018 partisipasi sekolah merupakan salah satu faktor yang mendorong seorang perempuan untuk melangsungkan pernikahan dini, mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung berpotensi untuk melakukan pernikahan dini dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendidikan tinggi.  

Faktor rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan terkait pernikahan dini menjadikan masalah ini tidak kunjung usai. Banyak kasus pernikahan dini terjadi pada masyarakat yang berada di tingkat ekonomi yang tergolong rendah namun tak jarang mereka yang berada di tingkat ekonomi menengah ke atas juga melakukan pernikahan dini ini, yang terjadi karena lemahnya pengetahuan seks sejak dini.  

Rendahnya tingkat pendidikan juga menciptakan gambaran yang terlalu idealistis mengenai pernikahan pada remaja dan anak-anak, jauh dari realita yang ada. Kurangnya materi terkait pernikahan dini pada kurikulum sekolah mengakibatkan semakin melejitnya angka kasus pernikahan dini. Banyak anak-anak yang tidak mendapatkan seks edukasi sejak dini dikarenakan masih adanya anggapan bahwa seks edukasi merupakan hal tabu. Sehingga banyak guru yang masih canggung dalam penyampaian edukasi terkait pernikahan dini. Diharapkan dengan memasukkan materi terkait pernikahan dini ini, para guru dapat menjelaskan terkait seks edukasi dengan arif dan baik.

Tinggal bagaimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah saling bersinergis dalam penambahan kurikulum di dunia pendidikan Indonesia, agar angka pernikahan dini di Indonesia dapat menurun dan dampaknya dapat diketahui oleh anak-anak pelajar dan masyarakat. Hal ini bertujuan agar anak memiliki pengetahuan yang baik mengenai diri mereka dan mampu mengatasi kesulitan sosial serta ekonomi baik secara jangka panjang maupun jangka pendek. Oleh sebab itu perlu adanya penambahan pendidikan terkait seks edukasi, khususnya pengetahuan terkait dampak pernikahan dini kedalam kurikulum pendidikan dimulai dari jenjang SD-SMP-SMA sederajat. Sehingga sebagai upaya menekan laju angka pernikah dini, Kementrian pendidikan dan kebudayaan (KEMENDIKBUD) harus menambahkan kurikulum terkait pendidikan terkait seks edukasi, khususnya pengetahuan terkait dampak pernikahan dini dimulai dari jenjang SD-SMP-SMA sederajat.

Penulis:  Aike Wella Bil Bariyah, Alfiyatu Mafiroh, Febriyeni Fitria, Lusy Ainun Nisa, Zaidan Zuhri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun