Mohon tunggu...
Zahrah Izzati
Zahrah Izzati Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Kasihani Nenek-Nenek Pencari Kayu Bakar!

18 Desember 2015   07:20 Diperbarui: 18 Desember 2015   08:52 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernahkah suatu kali kita melihat, di perkampungan ada nenek-nenek yang berjalan dengan memanggul kayu bakar di punggungnya yang mulai bungkuk? Apa yang terbersit di benak kita? Rasa miris, kasihan, tak tega, dan segala jenis empati mungkin masih kita rasakan. Lantas apa yang bisa kita lakukan. Mungkin kita ingin menolong. Tapi bagaimana caranya? Tidak mungkin menyuruh nenek itu membonceng di belakang sepeda motor karena pasti kayu bakarnya takkan muat. Menawarkan membawakan kayu bakarnya saja? Bisa-bisa malah jadi berantakan kalau sampai jatuh berceceran karena kita tak terbiasa. Andai saja membawa mobil, relakah kita meletakkan kayu-kayu tersebut yang mungkin akan mengotori dan membuat lecet mobil. Pada akhirnya yang sering kita lakukan hanyalah melewatinya dengan rasa iba.

Tapi benarkah nenek-nenek pencari kayu bakar perlu dikasihani? Pernahkah kita berpikir, mungkin saja justru pekerjaan itulah yang telah menghidupinya bertahun-tahun dan membuatnya masih sehat bugar hingga tetap kuat berjalan jauh di hari tuanya. Sedangkan disisi lain, saat nenek tua masih sibuk mencari kayu bakar, kongmolerat yang jauh lebih muda dan hidup dalam kemewahan justru harus bolak balik kerumah sakit untuk memeriksakan kesehatannya. Pernahkan kita berfikir bahwa nenek yang kelelahan dan kepanasan mungkin hanya bisa mengeluh pada Tuhannya, sedang orang-orang yang duduk di dalam mobil berpendingin udara seringkali sibuk mengumpat dan memaki ditengah kemacetan.

Mungkin rasa iba dan kasihan menunjukkan empati kita, tapi lebih dari itu dari sana kita bisa mengambil banyak pelajaran. Bagaimana kehidupan sederhana yang dimiliki nenek si pencari kayu bakar mungkin lebih baik dari yang kita miliki. Dan kita mungkin harus belajar mengasihani diri sendiri. Kasihan kalau ternyata makanan dan gaya hidup mewah justru membuat kita tidak sehat. Kasihan jika pangkat dan harta sudah cukup membuat kita bangga. Kasihan jika ucapan dan prilaku kita sendirilah yang merusak ketenangan hati dan pikiran.

“ dan Dialah yang memberikan kekayaan dan kecukupan “

(QS. An-Najm:48)

Tuhan maha adil, kalaupun kita tidak kaya, Tuhan tetap mencukupi segala kebutuhan, tinggal bagaimana kita mensyukurinya.

Kelebihan yang kita miliki seharusnya juga menjadikan kita lebih baik di hadapan Tuhan, lebih dalam rasa syukur, lebih dalam menjaga prilaku, lebih memanfaatkannya untuk kebaikan sehingga tidak sampai merusak diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun