Pernahkah suatu kali kita melihat, di perkampungan ada nenek-nenek yang berjalan dengan memanggul kayu bakar di punggungnya yang mulai bungkuk? Apa yang terbersit di benak kita? Rasa miris, kasihan, tak tega, dan segala jenis empati mungkin masih kita rasakan. Lantas apa yang bisa kita lakukan. Mungkin kita ingin menolong. Tapi bagaimana caranya? Tidak mungkin menyuruh nenek itu membonceng di belakang sepeda motor karena pasti kayu bakarnya takkan muat. Menawarkan membawakan kayu bakarnya saja? Bisa-bisa malah jadi berantakan kalau sampai jatuh berceceran karena kita tak terbiasa. Andai saja membawa mobil, relakah kita meletakkan kayu-kayu tersebut yang mungkin akan mengotori dan membuat lecet mobil. Pada akhirnya yang sering kita lakukan hanyalah melewatinya dengan rasa iba.
Tapi benarkah nenek-nenek pencari kayu bakar perlu dikasihani? Pernahkah kita berpikir, mungkin saja justru pekerjaan itulah yang telah menghidupinya bertahun-tahun dan membuatnya masih sehat bugar hingga tetap kuat berjalan jauh di hari tuanya. Sedangkan disisi lain, saat nenek tua masih sibuk mencari kayu bakar, kongmolerat yang jauh lebih muda dan hidup dalam kemewahan justru harus bolak balik kerumah sakit untuk memeriksakan kesehatannya. Pernahkan kita berfikir bahwa nenek yang kelelahan dan kepanasan mungkin hanya bisa mengeluh pada Tuhannya, sedang orang-orang yang duduk di dalam mobil berpendingin udara seringkali sibuk mengumpat dan memaki ditengah kemacetan.
Mungkin rasa iba dan kasihan menunjukkan empati kita, tapi lebih dari itu dari sana kita bisa mengambil banyak pelajaran. Bagaimana kehidupan sederhana yang dimiliki nenek si pencari kayu bakar mungkin lebih baik dari yang kita miliki. Dan kita mungkin harus belajar mengasihani diri sendiri. Kasihan kalau ternyata makanan dan gaya hidup mewah justru membuat kita tidak sehat. Kasihan jika pangkat dan harta sudah cukup membuat kita bangga. Kasihan jika ucapan dan prilaku kita sendirilah yang merusak ketenangan hati dan pikiran.
“ dan Dialah yang memberikan kekayaan dan kecukupan “
(QS. An-Najm:48)
Tuhan maha adil, kalaupun kita tidak kaya, Tuhan tetap mencukupi segala kebutuhan, tinggal bagaimana kita mensyukurinya.
Kelebihan yang kita miliki seharusnya juga menjadikan kita lebih baik di hadapan Tuhan, lebih dalam rasa syukur, lebih dalam menjaga prilaku, lebih memanfaatkannya untuk kebaikan sehingga tidak sampai merusak diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H