Tarian REOG Ponorogo  merupakan tarian tradisional dari Ponorogo Jawa Timur. REOG merupakan kepanjangan dari resik, endah, omber, girang-gemirang, yang artinya bersih, indah, makmur, dan bahagia. Seni pertunjukan REOG Ponorogo, merupakan salah satu tradisi masyarakat Ponorogo yang yang masih hidup dan bertujuan mempererat tali silaturahmi masyarakat Ponorogo. REOG Ponorogo dilakukan dalam arena terbuka yang berfungsi sebagai hiburan rakyat, mengandung unsur magis, penari utama adalah orang berkepala singa dengan hiasan bulu merak.
REOG Ponorogo merupakan kesenian yang menceritakan perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Bantarangin. REOG Ponorogo modern biasanya dipentaskan dalam beberapa acara, seperti pernikahan, khitanan, dan hari-hari besar Nasional. Pementasannya terdiri dari beberapa rangkaian, yakni dua sampai tiga tarian pembuka. REOG Ponorogo memiliki nilai moral yang tinggi untuk mendorong sikap hidup cinta tanah air, yang di dalamnya terdapat ajaran yakni, tenang, ketekunan, ketangguhan, siaga, mampu mengantisipasi, perhatian, terampil, trengginas (lincah), dicintai, penyayang, responsif, sasmito (peka), dihormati, penuh wibawa.
Kesenian yang mulanya bernama "Barongan" ini, dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam yang berasal dari Bali. Pementasan reog mulai muncul sejak tahun 1920 hingga saat ini. Namun, pada zaman pemerintah kolonial Belanda dan Penjajahan Jepang, reog dianggap sebagai kesenian yang merugikan hingga dilarang karena dianggap dapat memobilisasi massa. Eksistensinya yang mengandung nilai-nilai historis, filosofis, religious, kreatif, dan edukatif menjadikan reog sebagai hiburan rakyat yang legendaris.
Sebagai kearifan lokal, kebudayaan REOG Ponorogo memiliki tantangan dalam perkembangan zaman. Perkembangan zaman perlahan mulai menelan berbagai kearifan lokal termasuk REOG Ponorogo. Dengan berkembangnya teknologi, masyarakat berpikir bahwa tarian REOG Ponorogo ketinggalan zaman. Dengan ini, pelaksanaan REOG Ponorogo di zaman dahulu jauh berbeda dengan zaman modern
Seiring berkembangnya zaman, unsur magis yang ada di dalam tarian REOG Ponorogo mulai hilang. Pada zaman dahulu, malam sebelum pemain memainkan REOG harus disiapkan kopi manis pahit, air putih kembang, kantil rokok diserahkan dengan bacaan mantra kejawen. Ketika mereka ingin main harus bakar kemenyan. Dalam REOG modern tentu saja kebiasaan ini menghilang. Kebiasaan ini menghilang karena adanya kesadaran warga dalam beragama yang saat itu digunakan sebagai syiar Agama Islam termasuk berdirinya Ponpes Gontor.
Selain itu, teknologi menjadi pengaruh yang besar dalam eksistensi REOG Ponorogo. Di satu sisi, penting untuk mempertahankan keaslian dan integritas REOG Ponorogo sebagai bagian penting dari warisan budaya Jawa Timur. Namun, di sisi lain, ada tekanan untuk mengadaptasi kesenian ini agar lebih menarik bagi generasi muda yang lebih terhubung dengan teknologi. Meski begitu, dengan adanya teknologi ini membuka peluang dalam pelestarian REOG Ponorogo.
Sebagai kearifan lokal, kelestarian REOG Ponorogo merupakan hal yang penting. Walau perkembangan zaman merupakan tantangan yang besar, kita harus tetap menjaga kelestarian REOG Ponorogo. REOG Ponorogo modern merupakan salah satu jawabannya. Dalam perkembangannya tentu REOG Ponorogo harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman yaitu menghapus unsur magis yang ada agar dapat diterima di seluruh kalangan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H