Mohon tunggu...
Zahwa Nabilah Pasya
Zahwa Nabilah Pasya Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Saya seorang mahasiswi yang saat ini sedang menjalani kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dengan program studi Pendidikan Agama Islam. Travelling adalah hobi saya. Disiplin, mampu bekerja dalam tim, dan memiliki kemampuan Bahasa Inggris merupakan skills yang saya miliki.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menggali Dampak Penyebaran Hoaks

29 November 2024   21:18 Diperbarui: 29 November 2024   21:18 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abstrak

Maraknya kasus penyebaran berita hoaks di Indonesia merupakan dampak negatif dari perkembangan teknologi digital dan sosial media yang tidak diimbangi dengan literasi digital masyarakat (Amaly & Armiah, 2021). Hoaks, atau informasi palsu, dapat menyebar dengan cepat dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, seiring berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, khususnya melalui media sosial. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk melihat dampak hoaks dari sudut pandang sosial, politik, dan psikologis.

Tingkat literasi yang rendah ini menyebabkan masyarakat kesulitan memilih konten yang positif dari banjir informasi online. Ingatlah bahwa kebebasan, jika tidak berbudaya dan bermoral, akan mengakibatkan konsekuensi hukum, jadi gunakan media sosial dengan hati-hati. Selain itu, ujaran kebencian adalah tindakan komunikasi yang melibatkan provokasi, hasutan, atau hinaan terhadap individu atau kelompok lain. Tindakan penyebaran hoaks ini merupakan bagian dari interaksi sosial di mana makna terbangun melalui proses komunikasi oleh setiap individu dengan tujuan untuk berbagi (West, 2010) terlepas dari informasi yang disebarkan tersebut adalah negatif. Rudiantara menyebutkan bahwa “hoaks diciptakan oleh orang pintar, tetapi jahat; disebarkan oleh orang bodoh, tetapi baik”. Hoaks merupakan produk konten kreatif yang dibuat oleh mereka yang terampil dalam desain komunikasi, desain grafis, copywriting bahkan hypnowriting. Hoaks memiliki potensi yang tinggi untuk menjadi viral ketika telah dikemas (Rudiantara, 2019).

PENDAHULUAN

Perkembangan media teknologi yang sangat pesat membuat masyarakat dari berbagai generasi sadar akan teknologi. Teknologi menawarkan banyak fitur yang dapat mempermudah kehidupan manusia. Media sosial menjadi salah satu teknologi yang tak bisa terlepas dari kehidupan manusia. Media sosial dapat digunakan sebagai media berkomunikasi, tempat berdiskusi, serta sumber pengetahuan (Ilmi & Najicha, 2022). Pengaruh globalisasi, sekarang ini tidak dapat dipungkiri lagi karena banyaknya kemajuan teknologi yang masuk kedalam Negara dan bangsa kita.

Media sosial, salah satu hasil dari kemajuan teknologi ini, telah menjadi alat penting bagi masyarakat untuk berinteraksi dan memperoleh berita secara cepat. Namun, meskipun kemudahan akses informasi ini menawarkan beberapa manfaat, hoaks atau informasi palsu menyebar dengan cepat melalui platform digital, seringkali tanpa proses verifikasi. Penyebaran hoaks juga dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan individu dan membahayakan stabilitas sosial, politik, dan psikologis masyarakat.

Struktural dan kultural juga berkontribusi pada penyebaran hoaks. Algoritma media sosial yang berfokus pada konten viral tanpa mempertimbangkan kebenaran informasi adalah komponen penting. Sebaliknya, kurangnya literasi digital masyarakat membuat mereka lebih mudah menerima dan menyebarkan hoaks tanpa bukti. Ini menjadi lebih buruk karena ada pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja menggunakan hoaks untuk mencapai tujuan tertentu, seperti keuntungan finansial, politik, atau ideologis.

Melihat besarnya efek negatif yang ditimbulkan dari adanya hoaks, penting untuk memahami lebih dalam tentang sumber hoaks, cara penyebaran hoaks, dan bagaimana hoaks memengaruhi berbagai aspek kehidupan. Penulisan artikel ini bertujuan untuk menganalisis dampak penyebaran hoaks secara menyeluruh, karena sangat penting untuk memahami penyebab, pola penyebaran, dan dampak hoaks terhadap berbagai aspek kehidupan. Literasi digital, regulasi konten, dan kolaborasi berbagai pihak sangat penting untuk membangun ekosistem informasi yang sehat dan terpercaya. Masyarakat pun perlu memiliki kesadaran lebih akan berpikir kritis dan meningkatkan literasi di era sekarang, agar dapat menyaring berita dengan bijak. Diharapkan pula bagi masyarakat untuk mampu mengurangi efek destruktif dari hoaks di masa yang akan datang.

PEMBAHASAN

Pengertian Hoaks

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hoaks diartikan sebagai berita yang bohong. Hoaks yaitu informasi yang dibuat-buat atau direkayasa untuk menutupi informasi yang sebenarnya. Dengan kata lain, hoaks diartikan sebagai upaya pemutarbalikan fakta menggunakan informasi yang seolah-olah meyakinkan akan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Kata Hoax berasal dari bahasa Inggris yang artinya tipuan, menipu, berita bohong, berita palsu atau kabar burung yang disebarkan oleh seseorang. Jadi dapat dikatakan bahwa hoaks adalah kata yang berarti ketidakbenaran sebuah informasi.

Sebutan ‘hoaks’ atau ‘fake news’ bukan sesuatu yang baru, dan sudah banyak beredar sejak Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak pada tahun 1439. Sebelum zaman internet, ‘hoaks’ bahkan lebih berbahaya dari sekarang karena sulit untuk diverifikasi.

Menurut Silverman (2015), hoaks merupakan sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, tetapi “dijual” sebagai kebenaran. Menurut Ireton, Posetti dan UNESCO, (2018) mendefiniskan Fake news sebagai berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu. Hoaks bukan sekadar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, tetapi disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta (Allcott dan Matthew, 2017).

Jenis-jenis Informasi hoaks (Vibriza et al., 2017)
1. Berita bohong (Fake news): Berita yang berusaha menggantikan berita yang asli. Berita ini bertujuan untuk memalsukan atau memasukkan ketidakbenaran dalam suatu berita. Penulis berita bohong biasanya menambahkan hal-hal yang tidak benar dan teori persengkokolan, makin aneh, makin baik. Berita bohong bukanlah komentar humor terhadap suatu berita.


2. Tautan jebakan (Clickbait): Tautan yang diletakkan secara stategis di dalam suatu situs dengan tujuan untuk menarik orang masuk ke situs lainnya. Konten di dalam tautan ini sesuai fakta namun judulnya dibuat berlebihan atau dipasang gambar yang menarik untuk memancing pembaca.


3. Bias konfirmasi (Confirmation bias): Kecenderungan untuk menginterpretasikan kejadian yang baru terjadi sebaik bukti dari kepercayaan yang sudah ada.


4. Misinformation: Informasi yang salah atau tidak akurat, terutama yang ditujukan untuk menipu.


5. Satire: Sebuah tulisan yang menggunakan humor, ironi, hal yang dibesar-besarkan untuk mengkomentari kejadian yang sedang hangat. Berita satir dapat dijumpai di pertunjukan televisi seperti “Saturday Night Live” dan “This Hour has 22 Minutes”.


6. Pasca-kebenaran (Post-truth): Kejadian dimana emosi lebih berperan daripada fakta untuk membentuk opini publik.


7. Propaganda: Aktifitas menyebar luaskan informasi, fakta, argumen, gosip, setengah-kebenaran, atau bahkan kebohongan untuk mempengaruhi opini publik.

Meskipun praktik hoaks sudah sejak lama dilakukan namun di era yang serba digital ini hoaks mendapatkan perhatian yang khsusus. Istilah hoaks berasal dari Bahasa latin yaitu Hocus yang memiliki arti menipu. Dalam kamus Oxford Dictionary, Hoax merupakan suatu tindakan yang dimaksudkan untuk membuat seseorang percaya sesuatu yang tidak benar.

Pasal Bagi Penebar Hoaks

Orang yang menebarkan informasi palsu atau hoax di dunia maya akan dikenakan hukum positif. Hukum positif yang dimaksud adalah hukum yang berlaku. Maka, penebar hoax akan dikenakan KUHP, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial.
Istilah hoax/hoaks tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Tetapi ada beberapa peraturan yang mengatur mengenai berita hoaks atau berita bohong ini (Hutomo, 2019). Berikut penjelasannya pada Pasal 28 ayat (1) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) mengatur mengenai penyebaran berita bohong di media elektronik (termasuk sosial media) menyatakan:
"Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik".

Perbuatan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam UU ITE. UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”. Tetapi, jika dicermati lagi UU ITE dan perubahannya khushs mengatur mengenai hoax (berita bohong) yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Kemudian Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) juga mengatur hal yang serupa walaupun dengan rumusan yang sedikit berbeda yaitu digunakannya frasa “menyiarkan kabar bohong”. Pasal 390 KUHP berbunyi sebagai berikut:
"Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan".

Pasal 15 UU 1/1946: "Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun".
Jadi, hoaks atau menyebarkan berita bohong adalah sebuah tindak pidana. Ada beberapa aturan yang mengatur mengenai hal ini yaitu: UU ITE dan perubahannya, KUHP serta UU 1/1946. UU ITE bukanlah satu-satunya dasar hukum yang dipakai untuk menjerat orang yang menyebarkan hoaks, karena UU ITE hanya mengatur penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik saja.

Dampak Hoaks Terhadap Masyarakat

Hoaks dapat memberikan dampak yang signifikan terhadapat masyarakat, baik secara individu maupun kelompok. Penyebaran informasi palsu dapat menyebabkan masyarakat salah memahami suatu masalah, yang berdampak pada keputusan yang mereka buat. Misalnya, dalam situasi darurat seperti pandemi, hoaks tentang pengobatan atau pencegahan penyakit dapat mengarahkan masyarakat pada tindakan yang berisiko atau tidak efektif yang pada akhirnya merugikan kesehatan publik secara keseluruhan. Hoaks yang menyangkut kesehatan memang marak beredar di kalangan masyarakat.

Covid-19 menjadi bencana nonalam terbesar di dunia tahun 2020. Pertama kali merebak di Wuhan China selanjutnya menular ke negara-negara lain termasuk Indonesia. Masyarakat berada dalam ketidakpastian dan menerima banyak informasitentang Covid-19 melalui berbagai media, utamanya media sosial. Kondisi ini diperparah dengan penyebaran hoaks terkait Covid-19 yang sulit dibendung. Ari Fahrial Syam melakukan survei yang menemukan bahwa lebih dari 90 persen informasi di bidang kesehatan tidak dapat dipertanggungjawabkan karena memiliki sumber yang tidak jelas serta menyebar dengan bebas melalui media sosial dan pesaninstan. Begitu pula dengan hasil survei yang dilakukanoleh Surveyor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menemukan bahwa hoaks kesehatan terbanyak beredar di masyarakat (Juditha, 2019).

Dampak Hoaks Terhadap Psikologis Individu

Hoaks berdampak psikologis pada orang, terutama dalam menimbulkan kecemasan dan ketakutan. Kondisi emosional seseorang seringkali dipengaruhi oleh informasi palsu yang menakutkan atau mengancam. Misalnya, hoaks tentang bencana alam, wabah penyakit, atau ancaman keamanan dapat membuat orang merasa tidak aman dan kehilangan kendali atas keadaan. Jika hoaks terus-menerus diterima tanpa klarifikasi, perasaan ini dapat menyebabkan stres yang berkepanjangan.

Hoaks tidak hanya menimbulkan kecemasan, tetapi juga dapat membuat orang bingung dan tidak lagi percaya pada informasi yang mereka terima. Orang yang sering terpapar hoaks cenderung sulit membedakan antara informasi yang benar dan palsu. Keputusan mereka dalam kehidupan pribadi dan sosial dapat dipengaruhi oleh ketidakpastian ini. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengikis rasa percaya diri seseorang dan keyakinan mereka terhadap kemampuan mereka untuk mempertimbangkan keadaan secara rasional.

Hoaks juga dapat berdampak pada kesehatan mental seseorang dengan menyebabkan paranoid. Jika seseorang terus-menerus menerima informasi yang tidak benar yang menimbulkan ketakutan atau menyudutkan seseorang, itu dapat menyebabkan mereka menjadi terlalu curiga terhadap orang lain atau lingkungan mereka. Kondisi ini dapat membuat orang terisolasi secara sosial dan memburuk kesehatan psikologisnya. Banyak kasus hoaks yang beredar membuat individu kewalahan untuk terus memeriksa kebenaran informasi. Kondisi ini dapat menurunkan kualitas hidup seseorang menjadi percaya diri, atau bahkan membuat mereka tidak peduli lagi terhadap isu-isu penting.

Cara Mengatasi Berita Hoaks

Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax Septiaji Eko Nugroho (Yunita, 2017) menguraikan lima langkah sederhana yang bisa membantu dalam mengidentifikasi mana berita hoaks dan mana berita asli:


1. Hati-hati dengan judul provokatif
Berita hoaks seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang pembuat hoaks.Oleh karenanya, apabila menjumpai berita denga judul provokatif, sebaiknya Anda mencari referensi berupa berita serupa dari situs online resmi, kemudian bandingkan isinya, apakah sama atau berbeda. Dengan demikian, setidaknya Anda sebabagi pembaca bisa memperoleh kesimpulan yang lebih berimbang.


2. Cermati alamat situs
Untuk informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah alamat URL situs dimaksud. Apabila berasal dari situs yang belum terverifikasi sebagai institusi pers resmi, misalnya menggunakan domain blog, maka informasinya bisa dibilang meragukan.

Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs di Indonesia yang mengklaim sebagai portal berita.Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai 300. Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu di internet yang mesti diwaspadai.


3. Periksa fakta
Perhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya? Apakah dari institusi resmi seperti KPK atau Polri? Sebaiknya jangan cepat percaya apabila informasi berasal dari pegiat ormas, tokoh politik, atau pengamat.
Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh. Hal lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita sehingga memiliki kecenderungan untuk bersifat subyektif


4. Cek keaslian foto
Di era teknologi digital saat ini, bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca.
Cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni denga. melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.


5. Ikut serta grup diskusi anti- hoaks
Di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti hoaks, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci.
Di grup-grup diskusi ini, netizen bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoaks atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain. Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang

PENUTUP

Di era digital, penyebaran hoaks telah menjadi masalah besar yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, politik, ekonomi, dan psikologis. Informasi palsu yang tersebar tanpa pengawasan dapat memecah belah masyarakat, merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi, dan menimbulkan ketegangan yang tidak perlu. Oleh karena itu, sangat penting bagi semua orang untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya hoaks dan memperoleh kemampuan literasi digital yang cukup.

Peran masyarakat sangat penting dalam menanggulangi penyebaran hoaks. Semua orang harus berperan aktif untuk menghindari mempercayai secara langsung atau menyebarkan informasi yang belum divalidasi. Untuk menciptakan lingkungan informasi yang sehat dan bertanggung jawab, kerja sama dengan pihak pemerintah dan platform media sosial juga sangat penting. Penyebaran hoaks hanya dapat dicegah dengan kerja sama ini. Dalam menghadapi era informasi yang semakin kompleks, pendidikan literasi media harus menjadi prioritas utama. Dengan mengenali sumber yang dapat dipercaya dan memverifikasi fakta, masyarakat dapat lebih cerdas dalam menangani informasi yang mereka terima. Selain itu, penegakan hukum yang tegas harus diterapkan terhadap penyebar hoaks. Sanksi yang jelas dan terukur dapat menimbulkan efek jera dan mempersulit pelaku untuk bergerak. Namun, upaya hukum harus dikombinasikan dengan upaya pendidikan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang dampak negatif hoaks secara keseluruhan, bukan hanya karena ketakutan hukuman.

Dengan upaya kolektif yang melibatkan banyak pihak, hoaks dapat ditekan, dan masyarakat dapat menikmati arus informasi yang lebih sehat. Tanggung jawab bersama adalah kunci keberhasilan dalam memerangi hoaks. Semua orang memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa informasi yang disebarkan tidak hanya akurat tetapi juga berkontribusi pada kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun