Orang yang menebarkan informasi palsu atau hoax di dunia maya akan dikenakan hukum positif. Hukum positif yang dimaksud adalah hukum yang berlaku. Maka, penebar hoax akan dikenakan KUHP, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial.
Istilah hoax/hoaks tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Tetapi ada beberapa peraturan yang mengatur mengenai berita hoaks atau berita bohong ini (Hutomo, 2019). Berikut penjelasannya pada Pasal 28 ayat (1) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) mengatur mengenai penyebaran berita bohong di media elektronik (termasuk sosial media) menyatakan:
"Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik".
Perbuatan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam UU ITE. UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”. Tetapi, jika dicermati lagi UU ITE dan perubahannya khushs mengatur mengenai hoax (berita bohong) yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Kemudian Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) juga mengatur hal yang serupa walaupun dengan rumusan yang sedikit berbeda yaitu digunakannya frasa “menyiarkan kabar bohong”. Pasal 390 KUHP berbunyi sebagai berikut:
"Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan".
Pasal 15 UU 1/1946: "Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun".
Jadi, hoaks atau menyebarkan berita bohong adalah sebuah tindak pidana. Ada beberapa aturan yang mengatur mengenai hal ini yaitu: UU ITE dan perubahannya, KUHP serta UU 1/1946. UU ITE bukanlah satu-satunya dasar hukum yang dipakai untuk menjerat orang yang menyebarkan hoaks, karena UU ITE hanya mengatur penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik saja.
Dampak Hoaks Terhadap Masyarakat
Hoaks dapat memberikan dampak yang signifikan terhadapat masyarakat, baik secara individu maupun kelompok. Penyebaran informasi palsu dapat menyebabkan masyarakat salah memahami suatu masalah, yang berdampak pada keputusan yang mereka buat. Misalnya, dalam situasi darurat seperti pandemi, hoaks tentang pengobatan atau pencegahan penyakit dapat mengarahkan masyarakat pada tindakan yang berisiko atau tidak efektif yang pada akhirnya merugikan kesehatan publik secara keseluruhan. Hoaks yang menyangkut kesehatan memang marak beredar di kalangan masyarakat.
Covid-19 menjadi bencana nonalam terbesar di dunia tahun 2020. Pertama kali merebak di Wuhan China selanjutnya menular ke negara-negara lain termasuk Indonesia. Masyarakat berada dalam ketidakpastian dan menerima banyak informasitentang Covid-19 melalui berbagai media, utamanya media sosial. Kondisi ini diperparah dengan penyebaran hoaks terkait Covid-19 yang sulit dibendung. Ari Fahrial Syam melakukan survei yang menemukan bahwa lebih dari 90 persen informasi di bidang kesehatan tidak dapat dipertanggungjawabkan karena memiliki sumber yang tidak jelas serta menyebar dengan bebas melalui media sosial dan pesaninstan. Begitu pula dengan hasil survei yang dilakukanoleh Surveyor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menemukan bahwa hoaks kesehatan terbanyak beredar di masyarakat (Juditha, 2019).
Dampak Hoaks Terhadap Psikologis Individu
Hoaks berdampak psikologis pada orang, terutama dalam menimbulkan kecemasan dan ketakutan. Kondisi emosional seseorang seringkali dipengaruhi oleh informasi palsu yang menakutkan atau mengancam. Misalnya, hoaks tentang bencana alam, wabah penyakit, atau ancaman keamanan dapat membuat orang merasa tidak aman dan kehilangan kendali atas keadaan. Jika hoaks terus-menerus diterima tanpa klarifikasi, perasaan ini dapat menyebabkan stres yang berkepanjangan.
Hoaks tidak hanya menimbulkan kecemasan, tetapi juga dapat membuat orang bingung dan tidak lagi percaya pada informasi yang mereka terima. Orang yang sering terpapar hoaks cenderung sulit membedakan antara informasi yang benar dan palsu. Keputusan mereka dalam kehidupan pribadi dan sosial dapat dipengaruhi oleh ketidakpastian ini. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengikis rasa percaya diri seseorang dan keyakinan mereka terhadap kemampuan mereka untuk mempertimbangkan keadaan secara rasional.
Hoaks juga dapat berdampak pada kesehatan mental seseorang dengan menyebabkan paranoid. Jika seseorang terus-menerus menerima informasi yang tidak benar yang menimbulkan ketakutan atau menyudutkan seseorang, itu dapat menyebabkan mereka menjadi terlalu curiga terhadap orang lain atau lingkungan mereka. Kondisi ini dapat membuat orang terisolasi secara sosial dan memburuk kesehatan psikologisnya. Banyak kasus hoaks yang beredar membuat individu kewalahan untuk terus memeriksa kebenaran informasi. Kondisi ini dapat menurunkan kualitas hidup seseorang menjadi percaya diri, atau bahkan membuat mereka tidak peduli lagi terhadap isu-isu penting.
Cara Mengatasi Berita Hoaks