Yogyakarta, Indonesia--Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, yang kemudian diikuti dengan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca. Untuk melengkapi kerangka kebijakan perdagangan karbon, pemerintah mengeluarkan berbagai Undang-Undang dan peraturan, seperti UU Nomor 4 Tahun 2023 dan UU Nomor 7 Tahun 2021. Langkah-langkah tersebut diklaim sebagai upaya nyata pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengatasi krisis iklim. Namun, dari sudut pandang ekologi, pendekatan ini dapat dipandang sebagai jalan sesat yang tidak menangani akar permasalahan krisis iklim secara efektif. Pendekatan ini tidak hanya gagal dalam mengurangi emisi secara signifikan tetapi juga mengabaikan prinsip-prinsip keadilan lingkungan dan keberlanjutan jangka panjang.
Sistem perdagangan karbon menciptakan ilusi pengurangan emisi tanpa adanya perubahan nyata dalam pola konsumsi dan produksi yang mendasari. Perdagangan karbon memungkinkan perusahaan dan negara untuk membeli kredit karbon sebagai kompensasi atas emisi mereka, alih-alih mengurangi emisi di sumbernya. Secara lebih lanjut, dalam skema carbon trading, pihak negara maupun perusahaan yang mampu mengurangi emisi lebih dari target yang ditetapkan dapat menjual kredit karbonnya kepada pihak-pihak lain yang kesulitan memenuhi target emisinya. Skema tersebut jelas mencederai etika ekologis dengan menjadikan emisi atau pencemaran sebagai suatu hak yang dapat diperjualbelikan. Selain itu, terdapat skema carbon offsetting yang memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan besar untuk menebus dosa emisi mereka. Dalam skema ini, emisi karbon yang dihasilkan oleh Perusahaan-perusahaan besar diimbangi dengan investasi dalam proyek-proyek hijau, seperti reforestrasi dan penghijauan, di tempat lain. Akan tetapi, program tersebut rentan terhadap perlawanan dari kaum adat, bahkan lebih jauh hanya dijadikan dalih untuk mengeksploitasi sumber daya suatu negara.
Dalam sistem ini, karbon hanya dianggap sebagai suatu komoditas penting yang dapat diperjualbelikan dan mengabaikan aspek lain seperti keseimbangan ekosistem hayati. Untuk benar-benar mengatasi krisis iklim, diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan. Sebuah pendekatan yang juga mencakup transisi ke energi terbarukan, pengurangan konsumsi energi, perlindungan ekosistem alam, dan perubahan mendasar dalam sistem ekonomi global. Pendekatan ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan iklim yang menghargai hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal, serta mengakui kerentanan kelompok-kelompok yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI