Mohon tunggu...
Zahrotul Mutoharoh
Zahrotul Mutoharoh Mohon Tunggu... Guru - Semua orang adalah guruku

Guru pertamaku adalah ibu dan bapakku

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Akhiri dengan Indah

5 Februari 2022   04:20 Diperbarui: 5 Februari 2022   04:24 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dewiana Namaku

Sebut namaku Dewiana. Aku anak ragil di keluarga. Ketiga kakak perempuanku sudah menikah dan punya anak. Bapak dan ibuku adalah pensiunan guru PNS di Departemen Agama waktu itu.

Alhamdulillah, pekerjaanku sudah mapan. Alhamdulillah kebetulan aku sudah diangkat menjadi PNS melalui pemberkasan data base saat itu. Aku diangkat menjadi seorang guru di sebuah Sekolah Dasar.

Aku seorang wanita yang menikah di usia 37 (tiga puluh tujuh). Telat, begitu pasti orang menilaiku.

Pertanyaan demi pertanyaan pasti sampai di telingaku saat aku belum menikah. Kapan aku menikah. Menikahlah, keburu tua. Nanti tak bisa punya anak. Dan seterusnya, dan seterusnya.

 “Gek nikah, gek ben duwe anak ra ketang siji..”.

Itu salah satu komentar orang kepadaku. Jangan tanya bagaimana perasaanku. Tak bisa digambarkan lagi.

Ah, mereka tak mengerti bagaimana usahaku. Tapi Allah berkata lain. Memang belum ada jodoh untukku sampai usia itu. Aku tak bisa protes kan kepada Allah? Toh, siapapun yang bertanya apapun, juga bukan Tuhan yang dapat menentukan kapan aku menikah.

“Lelaki itu mikir-mikir untuk menikahimu, bu..”, kata pak Wanto, salah satu guru di tempatku.

Biasanya aku dan teman-teman cerita ke beliau, yang kami anggap sesepuh kami.

“Takut. Soalnya mereka takut tidak bisa menghidupi sampeyan..”, lanjutnya.

Cara-carane ki, sampeyan wis mentas.. Punya pekerjaan dan gaji yang tinggi. Awang-awangen nggo wong lanang..”.

Aku memperhatikan perkataan beliau. Memang benar itu yang terjadi padaku. Beberapa orang laki-laki yang dikenalkan atau mencoba mengenalku lebih banyak mundur teratur.

Ada baiknya juga sih mundur di awal, daripada mundur ketika sudah terjadi pernikahan. Itu lebih gentleman, karena belum ada yang tersakiti pastinya. Pikirku begitu.

Wedi juga nek dianggep memanfaatkan sampeyan, bu..”, lanjut pak Wanto.

“Makanya aku tu gak mau orang mengenalku karena aku yang sudah bekerja dan gajiku lumayan, pak.. Aku ingin orang mengenalku ya cuma sebagai Dewiana saja.. Biar orang tu tulus sama aku, bukan karena aku yang sudah mapan dan bergaji..”, kataku menanggapi pak Wanto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun