Nginggggg…
Allahu Akbar, Allahu Akbar… (lafaldz Adzan)
Ketika ku rindukan suara itu, alhamdulillah akhirnya datang juga. Bulan penuh rahmat. Bulan penuh ampunan. Bulan dikabulkannya doa-doa. Bulan dihapuskannya dosa-dosa. Bulan Ramadhan.
Suara tanda berbuka itu sangat khas untukku, sejak kecil. Suara yang diputar di radio itu menjadi idola bagi kami yang sedang berpuasa. Suara itu bahkan mungkin lebih tua daripada usiaku. Dan mungkin akan lestari hingga nanti di bumi pertiwi ini.
***
“Ayo kita ke langgar, Mam..”, ajak saudara sepupuku, Opik.
O iya, namaku Imam.
“Iya, sebentar Pik..”, kataku.
Aku masih asyik dengan bermain neker. Neker ini lama lainnya kelereng.
Saat puasa tiba, kami, anak laki-laki kebanyakan nekeran untuk mengisi waktu. Kami berlomba-lomba mengoleksi neker ini. Bangga kalau punya lebih banyak dari punya teman-teman. Dan waktu itu yang punya neker paling banyak adalah Bagas. Ya, dia anak orang terkaya di kampungku.
“Wis gek ndang adus, le..Ndang mangkat.. Wis dienteni Opik..”, kata simbok begitu aku belum juga beranjak dari bermainku. Sementara Opik duduk melihat aku bermain.