Saya memiliki saudara kembar. Seharusnya kembar tiga. Tetapi salah satu dari kami meninggal ketika masih bayi. Ya, tinggallah kami berdua yang alhamdulillah masih diberikan kehidupan. Ada dua kakak kami juga ding. Hehe.
Seperti nasib anak kembar lainnya, kami pasti sering keliru disapa. Seringkali ketika sampai di rumah, kami saling bercerita.Â
"Mau aku diruhi kancamu, mbak". "Tadi aku disapa temanmu, mbak", kataku.
"Lha sapa?", "Lha siapa?", tanya saudara kembarku.
"Embuh, ra takon. Hahaha..", "Tidak tahu, aku tidak tanya. Hahaha..", jawabku.
Nah, seringkali seperti itu. Kembaranku juga sering disapa teman-teman kerjaku. Temanku sendiri kadang juga cerita pas ketemu.
"Aku mau nggeblek sijimu, nduk. Isin aku. Lha kleru". "Aku tadi nabok saudaramu yang satu, nduk. Malu aku, lha keliru".Â
Begitu kadang cerita temanku. Ketika aku mendengar, secara refleks aku tertawa. Ya, memang lucu-lucu sih kadang.Â
Nah, jangankan temanku. Sebuah aplikasi saja bisa menyatakan double counting kok. Dulu, awal-awal ada NUPTK bagi tenaga pendidik dan kependidikan saja data saya dinyatakan double counting.Â
Duh, mumet kan? Padahal teman saya yang lebih muda masa kerja saja sudah mendapat NUPTK. Saya malah belum. Saya yakin itu double counting dengan kembaran saya. Nama depan dan nama ibu jelas plek.
Akhirnya demi sebuah nomor unik itu, saya memberanikan diri konsultasi ke dinas. Nemui Kasubbag Kepegawaian Dikpora DIY juga. Saya dan kembaran saya berani menghadap beliau. Beliau menyatakan akan membawa ke rapat, kasusnya double counting karena kembar. Hehe.Â