Keinginan manusia di era moderenisasi saat ini yang selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya mendorong seseorang untuk bekerja mencari uang demi memenuhisegala yang dibutuhkannya. Banyak profesi yang di geluti misalnya menjadi dokter, guru, pedagang, nelayan dll yang mana profesi tersebut merupakan profesi yang memulai. Namun, ada sebagian orang yang justru memilih salah satu pekerjaan yang hina, banyak dicela masyarakat, sering di raziapolisi, dikejar salpol PP, bahkan di larang agama, tapi dianggap sebagai profesi yang sangat menguntungkan yaitu menjadi PSK ( Pekerja Seks Komersial). Dan pada kenyataannya saat ini tidak sedikit orang yang memilih “bekerja” sebagai PSK.
PSK itu sendiri yaitu profesi seseorang yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan yang biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan diri (tubuhnya sendiri).PSK juga merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat (kebiasaan masyarakat) yang sudah ada sejak masa lampau atau bisa di katakan turun menurun dan keberadaannya sulit untuk dihilangkan.
Sesungguhnya kegiatan semacam itu (PSK) melibatatkan tidak hanya si perempuan yang memberikan pelayanan seksualnya saja yaitu dengan menerima imbalan berupa uang akan tetapi ini adalah suatu kegiatan perdagangan yang melibatkan banyak pihak yang secara sembunyi-sembunyi ikut menikmati dan mengambil keuntungan dari keberadaan pelacur yang bisanya di sebut ‘’Germo’’.
Keberadaannya (PSK)itu sendiri dapatmenimbulkan pro dan kontra di mata masyarakat. Jika dilihat dari sudut pandang sosial, tidak semua masyrakat bisa menerima keberadaan para pekerja seks komersial tersebut, karena mereka mengganggap bahawa para PSK dapat mempengaruhi kepribadian masyarakat itu sendiri.PSK juga sering dikucilkan oleh masyarakat, dianggap sampah, dipandang sebagai wanita penggoda rumah tangga dan penyebab penyakit menular seksual (PMS) khususnya. Sebagian dari mereka bekerja secara tersembunyi-sembunyi baik dari masyarakat maupun dari keluarganya sendiri. Bahkan biasanya keluarga mereka tidak mengetahui profesi yang mereka kerjakan yaitu menjadi seorang PSK. Tak sedikit dan mungkin banyak dari keluargamereka bahkan ada yang tega menyuruhnya untuk tetap melakukan hal tersebut, karena tuntutan ekonomilah yang menyebabkan mereka melakukan pekerjaan tersebut.
Bisanya para perempuan pekerja seks komersial (PSK) mulai dari usia belasan sampai puluhan tahun dapat dengan mudah dijumpai di kawasan SARKEM. Hanya dengan uang Rp 150.000-Rp 300.000, sudah bisa mengajak salah satu perempuan yang menjajakan diri di sana. ‘’Biasanya, harga "sewa" disesuaikan dengan fisik PSK. Semakin cantik akan semakin mahal tarifnya. "Kami tidak mau basa-basi dalam melakukan transaksi, kalau tertarik langsung datangi. Harga deal, langsung! Atau, mau menemani minum-minum juga tidak apa-apa, asal cocok saja," ujar salah satu PSK yang ditemui di kawasan itu. Satu rumah bordil di Sarkem bisa dihuni hingga belasan PSK bersama satu induk semang. Rumah yang pada malam hari berubah menjadi tempat mangkal tersebut sudah dilengkapi dengan sofa panjang, minibar, sound system, dan beberapa kamar. Tarif per kamar antara Rp 50.000 dan Rp 60.000. Adapun tarif bermalam sebesar Rp 70.000-Rp 80.000 dengan fasilitas kamar, tempat tidur, handuk, dan kipas angin. Buka sejak sore hari hingga menjelang pagi, dipastikan gang-gang di Sarkem akan berjubel dengan laki-laki hidung belang saat musim libur tiba. "Hari biasa saya bisa melayani dua atau tiga laki-laki, tetapi kalau musim liburan saya bisa sampai empat-lima kali. Itu juga tergantung fisik saya," papar seorang PSK yang mengaku sudah terjun di bisnis ini sejak tiga tahun lalu. Untuk menjamin kesehatan mereka, PSK ini mengaku, setiap pengunjung diharuskan memakai kondom. Gerakan menggunakan kondom mulai digalakkan setelah beberapa yayasan dan LSM memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada para PSK beberapa tahun yang lalu.
Menurut Kartini Kartono (1992:232) yang menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan prostitusi anatara lain sebagai berikut :
1.Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran. Juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum pernikahan.
2.Adanya keinginan dan dorongan untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan.
3.Komersialisasi dari seks, baik di pihak wanita maupun germo-germo maupun oknum-oknum tertentu yang memnfaatkan pelayanan prostitusi.
4.Dekandensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat masyarakat mengalami kesejahteraan hidup.
5.Semakin menurunnya penghormatan terhadap harkat dan martabat kaum wanita sebagai manusia.
6.Bertemunya bermacam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat.
Berikut bebrapa alterative solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah sosial ini diantaranya :
·PEMERINTAH
Yang mungkin bisa di lakukan oleh Pemerintah saat ini yaitu pengahapusan kemiskinan terlebih dahulu karena kemiskinan lah yang menyebabkannya, tidak akan jauh dari ekonomi mereka, mereka juga tidak bisa mendapatkan pendidikan yang memadai dan cukup untuk mencari pekerjaan yang layak. Tidak dapat dipungkirin lagi jika faktor ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan menjadi factor utama mereka nekatbekerja sebagai PSK. Penyediaan lapangan kerja yang kurang memadai sehingga untuk meningkatkan kesejahteraan para penduduknya kurang terpenuhi. Dengan begitu mereka mengambil jalan yang efektif dan instan yaitu dengan mengalihkan profesi menjadi para PSK. Seharusnya para Pemerintah juga menambah dan memperluas lapangan pekerjaan dan memberikan upah yang layak kepada mereka sehingga kemiskinan tidak menyeret mereka lagi untuk bekerja menjadi PSK dan seharusnya Pemerintah menciptakan keadilan yang terdistribusi dengan baik supaya mereka dapat bekerja lebih layak dan lebih baik.
·PERATURAN UU
Membuat peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas dalam rangka penghapusan praktek pelacura seperti yang telah dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul dengan mengeluarkan Perda No. 5 Tahun 2007 tentang larangan pelacuran di Bantul. Meskipun tidak lantas menampakkan hasil yang maksimal, setidaknya peratudaran daerah tersebut sedikit banyak telah berkontribusi dalam upaya penanggulangan penyakit masyarakat ini.
·LOKALISASI.
Cara ini sesungguhnya menimbulkan pro dan kontra, sebab jika dilokalisasikan, maka hanya akan menambah banyak jumlah PSK karena merasa keberadaannya diadakan. Namun, jika tidak dilokalisakan, keberadaannya jelas membuat resah mayarakat, sebab keberadaannya liar dan tak beraturan dikhawatirkan akan menyebabkan penularan penyakit, baik secara psikologis maupun penyakit menular seksual. Akan tetapi penutupan lokalisasi tetap perlu dilaksanakan. Namun, tidak semata-mata menutup saja.Penutupan area lokalisasi haruslahdibarengi dengan penyadaran para PSK juga para warga yang terlibatlangsung dengan bisnis prostitusi ini.Kecenderungan untuk selalu bernegoisasi dengan para germo dan alasan perut tidak akan pernah menyelesaikan masalah, karena kita akan selalu bertanya manakah yang seharusnya dibereskan terlebih dahulu.
Masyarakat sekitar lingkungan prostitusi juga perlu mendapatkan penyuluhan tentang baimana upaya-upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk mengatasi masalah sosial PSK ini. Anggota masyrakat harus mau untuk menerima eks PSK dan sebaliknya eks PSK pun harus mau meninggalkan pekerjaan kotornya tersebut dan mau diberdayakan sehingga dapt bekerja secar layak. Dibutuhkan sinergitas semua kalangan mulai dari pemerintah, aparat penegak hokum,dinas sosial, masyarakat, mahasiswa dan seluruh warga demi terwujudnya masyarakat yang bersih, bebas dari penyakit masyrakat baik itu PSK maupun penyakit masyarakat lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H