Part 4
Malam itu, mereka menyantap nasi goreng masing-masing di dalam kedai milik Pak Yasin. Tempatnya memang tidak bagus, jauh berbeda dengan bentuk Kafe Adolft yang biasanya Djody dan teman-temannya berkumpul. Kedai Pak Yasin mirip sekali dengan kedai pecel lele yang ada dimana-mana, yang hanya memakai spanduk untuk menutupi yang makan disana. Sederhana namun senyaman itu bagi Djody yang sudah sering makan di kedai Pak Yasin baik sendirian maupun berdua dengan mantan kekasih.Â
"Sher, aku boleh nanya gak?" kata Djody. Sherine mengangguk. Lanjut Djody, "Kamu dari kapan gak bisa berbicara, Sher?" Djody yang berbicara dengan sangat hati-hati dan langsung melihat gerak gerik Sherine yang masih menyuap nasinya. Sherine terdiam. Ia seperti memikirkan sesuatu untuk menjawab. Ia lalu memberikan kode dengan tangannya untuk menunggu sebentar agar ia dapat mengeluarkan buku gambar dan pensilnya. Ia pun menulis,"Aku sudah tidak bisa berbicara dari lahir.."
Djody menahan napas. Ia setengah terkejut membaca jawaban Sherine, dan berpikir 'bagaimana bisa itu terjadi pada wanita cantik seperti Sherine'. Mereka pun kembali saling terdiam. Hanya suara pantulan sodet dan panci dari arah Pak Yasin yang sedang memasaklah yang memecah kesunyian. Sherine yang ingin minum di botol dengan segera di bukakan oleh Djody dengan refleknya. Lalu Ia mulai bertanya kembali, "Apa kamu tau sebabnya kamu gak bisa berbicara, Sher?" Djody melihat Sherine masih menenggak botol air mineral. Sherine mengangguk meskipun pipinya masih mengembung. Ia menuliskan,"Ayahku lah sebabnya.. namun itu bukan jadi masalah.". Djody langsung bertanya dengan cepat, "Kenapa??". Sherine menghapus tulisan sebelumnya dan menulis lagi, "Ayahku juga bisu, namun aku tidak menganggap itu suatu kesalahan, sebab Tuhan sudah mentakdirkan ayah dan aku dalam bentuk seperti ini." Sherine melihat ada kebingungan di wajah Djody. Ia pun menambahkan, "Kalo Tuhan sudah mentakdirkan berarti itu yang terbaik, apa yang baik bagi kita belum tentu baik bagi Tuhan, dan begitupun sebaliknya:)"
Djody menahan napas lagi. Kali ini ia juga berpikir 'betapa baiknya cara pandang seseorang yang orang lain pandang rendah menjadi sedewasa ini. Bagaimana seseorang bisa begitu komprominya dengan kekurangan yang ia miliki, yang cukup krusial bagi tiap individu sosial agar mampu berkomunikasi dengan baik dan mendapatkan apa yang ia mau'. Sedangkan Djody si paling mahir mengolah kata-kata menjadi sebuah seni untuk mempengaruhi orang lain, ia bahkan dijuluki komunikator ulung di angkatan senatnya. Tidak akan lagi Djody memandang seseorang rendah sebab ia justru tidak mampu memahami hakikat takdir seperti Sherine memahaminya. Dari dulu yang ia pikirkan hanyalah ambisi menjadi nomor satu dan tak terkalahkan untuk mempengaruhi orang lain. Sebuah seni berteman yang ia perdalam nyatanya membuat Djody lupa makna dari berteman yang sebenarnya.Â
Sherine pun menuliskan sesuatu, "Apa ada lagi yang ingin kamu tanyakan? sebelum aku menaruh buku dan pensilku ke dalam tas.." Sherine juga melihat jam tangannya. Djody pun juga melihat jam tangannya yang sama-sama berada di sebelah kiri. "Astaga sudah mau jam 11, kamu harus pulang Sher, ayoo" dengan nada terburu-buru Djody menyuruh. Ia tidak lupa membayar kedua porsi nasi goreng yang telah lama disantap dengan nikmat. Djody melanjutkan, "Rumah kamu dimana, Sher? nih coba kamu buka di maps.." sambil memberikan handphonenya kepada Sherine.Â
Tak lama sampai di ujung gang perumnas Sherine, namun Sherine tidak ingin Djody mengantarnya sampai depan rumah, lalu ia pun turun dan memberikan lambaian tangan kepada Djody. Ia mulai berjalan menjauh menuju rumah. Suasananya di perumnas tampak sangat sepi, bahkan portal di beberapa gang sudah ditutup, hanya portal utama yang masih dibuka. Djody yang ingin memutar balik motornya tiba-tiba berpapasan dengan seorang ibu berpakaian syar'i hitam. Mata mereka saling melihat. Djody terdiam namun ibu itu tetap berjalan ke arah yang sama dengan Sherine.Â
Sampai di rumah, Sherine memcoba membuka pintu yang terkunci. Tiba-tiba ibu itu menarik tangan Sherine dari belakang, Sherine terkaget. "Sherine sayang!! kamu kemana aja nak? bunda mencari kamu dimana-mana sayang..."Kata ibunya Sherine sambil memeluk Sherine. Sherine mulai bersedih mendengar hal itu.Â
Sherine menceritakan semuanya dengan memakai bahasa isyarat yang ia pelajari bersama ibunya. Banyak kejadian yang membuatnya takut dan bersedih seharian, namun ada juga beberapa hal yang membuatnya merasa bahagia dengan mudah. Ibunya membalas dengan bahasa isyarat bahwa ia tidak boleh mengikuti aksi demo lagi karena itu sangat berbahaya. Dan ibunya juga bertanya bagaimana Sherine bisa pulang kesini dan siapa yang mengantarnya?. Sherine menjawab dengan ragu-ragu,"Bun, tadi aku makan nasi goreng dulu agar aku tidak kelaparan, juga aku diantar dengan motor oleh yang membawaku ikut aksi, pokoknya bunda gak boleh khawatir berlebihan, oke?:)" Kali ini ibunya Sherine memasang wajah serius,"Namanya dia siapa?"Â
"Djody" Kata Sherine sambil tersenyum. Ibunya membalas, "Sherine, bunda hargai kalau Sherine sudah memiliki teman, namun Sherine harus tau jaraknya, tau batasannya, dan tau tujuannya dalam berteman. Bunda gak mau Sherine hancur karena perasaan, tetaplah kuat dan jangan mudah menjatuhkan hatimu kepada siapapun yang mendekatimu, nak."
Sherine yang tadinya tersenyum kini nampak mulai menunduk, seraya mengartikan perasaannya yang mulai patah. Patah sebelum berbunga, semangatnya untuk menjalin pertemanan dekat dengan Djody harus perlahan dipupus, sehingga ia tidak akan terbawa arus untuk jatuh cinta dengannya. Bagaikan es krim yang mencair, justru es krim akan tampak bagus dan layak diperjuangkan ketika membeku dan terbungkus, sama seperti hatinya Sherine yang harus membeku dan terbungkus oleh rasa tau diri.
Keesokan harinya, Djody mengejar Sherine yang berjalan di koridor kampus. Sherine melihat namun tidak menghiraukan. Ia pun berjalan dengan cepat menuju masjid, seolah-olah tidak melihat keberadaan Djody yang mengikutinya. Dalam hati Djody 'apa ada yang salah denganku?' sambil tetap mengawasi gerak gerik Sherine yang mengintip di sela-sela jendela kaca masjid di lantai 2. Sherine bertanya dalam hati, 'apakah ini cara yang benar, yaa Allah?' 'atau aku bersalah kepadanya?'
Sudah tiga hari berlalu, mereka saling mengejar dan menghindar di lingkungan kampus. Sherine mengabaikan keberadaan Djody yang mencoba mengajak berbicara, bahkan saat Djody bersama teman-temannya di kantin pun ia mau berpindah sebentar ke sisi Sherine yang selalu duduk sendirian. Sherine merasa iba karena kegigihan Djody yang mendekatinya meskipun diabaikan, ia pun menuliskan sesuatu di buku gambarnya, "Maaf Djody, maaf aku mau kita jaga jarak pertemanan, kalo kamu mau kita tetap jadi teman.." Djody yang membacanya bingung dengan perasaan yang ia punya. "Kamu mau aku ngejauh??" kata Djody. Sherine perlahan mengangguk. Tak puas dengan jawaban seperti itu, Djody bertanya lagi,"Kamu gak suka aku berada di dekatmu?"dengan harapan yang lain ia mulai serius. Sherine terdiam, namun perlahan mengangguk. Baginya, Djody tidak akan bisa digapai dengan keapa-adaannya Sherine, dan Djody hanya layak menjadi seorang teman namun hal itu sangat menyiksa batin yang sedang bersemi.
Bersambung..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H