Bismillahirrahmanirrahim
Dalam jual beli tanah seringkali timbul sengketa di kemudian harinya. Sengketa timbul biasanya terjadi akibat penjual yang menjual tanah kepada pembeli bukanlah pemilik tanah yang sesungguhnya. Salah satu sebabnya adalah kekurang cermatan pembeli dalam mencari tahu asal usul tanah yang akan dibelinya. Jika terjadi sengketa maka perlu diketahui apakah si pembeli adalah pembeli beritikad baik atau tidak. Sebab penentuan status pembeli beritikad baik ini akan mengakibatkan pembeli dilindungi oleh Undang-Undang atas jual beli yang dilakukannya atau tidak.
Mengutip Hasil Penelitian kerjasama Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dan Mahkamah Agung serta Kedutaan Besar Belanda yang berjudul Penjelasan Hukum Pembeli Beritikad Baik dalam Jual Beli Tanah, didapati pengertian Pembeli beritikad baik adalah pembeli yang tidak menduga bahwa orang yang menjual suatu benda bukan satu satunya orang yang berhak menjualnya. Pembeli juga tidak mengetahui cacat hukum dalam jual beli yang dilakukannya. Pembeli beritikad baik juga dapat berarti adalah pembeli yang tidak mengetahui adanya cacat atau cela atas objek tanah yang diperjualbelikan.
Namun secara spesifik, tidak ada ketentuan dalam ketentuan peraturan perundangan yang secara letterlijk mendefinisikan itikad baik. Hanya saja terdapat konsep itikad baik yang didasarkan pada hukum Perjanjian.
Dalam beberapa putusan sengketa perdata pada jual beli tanah dapat diterangkan bahwa itikad baik harus diketahui kondisi objektif sesungguhnya atas itikad baik dari pembeli secara formil dan materiil. Secara formil misalkan apakah jual beli tersebut dilakukan secara tunai dan terang atau dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/PPAT atau Kepala Desa (Jika tanah tersebut adalah tanah adat).
Sedangkan secara materiil misalkan dengan meneliti apakah materi atau data dalam surat surat pendukung pembuktian kepemilikan penjual dan pembeli telah sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Jelas objek tanah jual belinya karena sesuai dengan prinsip suatu hal tertentu atau sebab yang halal dalam syarat sah perjanjian.
Konsep itikad baik yang didasarkan pada konsep hukum perjanjian terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pasal tersebut dikatakan, bahwa Syarat Sah suatu perjanjian terdapat empat bagian yaitu Sepakat, Cakap, Suatu Hal Tertentu dan Sebab (causa) yang halal. Â Sementara Perjanjian itu sendiri adalah suatu keadaan seseorang mengikatkan diri dengan satu orang lainnya atau lebih.
Syarat sah perjanjian bagian "Sepakat" adalah para pihak yang melakukan perjanjian dalam hal ini mengikatkan diri atas jual beli tanah menyetujui materi atau isi perjanjian jual beli tanah.
Perjanjian menjadi tidak memiliki kekuatan jika ditemukan adanya paksaan, penipuan atau kekhilafan. Perjanjian dilakukan tanpa paksaan misalkan perjanjian dilakukan tanpa di bawah tekanan atau pemaksaan dan pemerasan pihak manapun.
Penipuan adalah pengelabuan kondisi objek dan subjek perjanjian. Seperti Subjek perjanjian yaitu penjual bukanlah pemilik sesungguhnya dari tanah yang akan diperjual belikan, sedangkan objek perjanjian misalkan terdapat perbedaan antara luas tanah yang diperjanjikan dengan luas di lapangan.
Sedangkan kekhilafan terdiri atas kehilafan atas objek meliputi khilaf atas hal hal pokok materi perjanjian atau sifat sifat penting barang. Sementara kekhilafan subjek berupa khilaf atas orang dengan siapa perjanjian dilakukan. Misalkan kekhilafan objek dalam hal salah alamat tanah objek perjanjian akibat salah duga atau persepsi.