Bismillahirrahmanirrahim
Orang yang bijaksana biasanya anti maksiat. Orang yang anti maksiat bersifat karim atau orang yang memuliakan dirinya sendiri dengan ketakwaan. Orang yang bijak juga tidak mendahulukan dunia daripada akhirat. Mereka tidak mengunggulkan dunia dan tidak mendahulukan dunia ketimbang akhirat. Orang yang tidak mendahulukan dunia dari akhirat maka orang itu disebut juga hakim, yaitu orang yang benar perilakunya. Orang dengan sifat hakim adalah orang yang mencegah nafsunya agar tidak melawan akalnya yang lebih memberikan keselamatan
Orang bijak bisa mengendalikan nafsunya, tidak pernah melawan keputusan akal yang selamat. Sebab akal rata rata keputusannya baik. Sedangkan perbuatan yang melawan akal maka itu merupakan nafsu.
Orang yang menggunakan akal itu biasa menggunakan data statistik. Ilmu statistik itu menggunakan data yang rasional, seperti pada matematika. Berbeda dengan akal, cara berpikir menggunakan nafsu cenderung serampangan.
Misalkan pada orang menjadi Wanita Malam di umur 18 tahun hingga kini berusia 20 tahun. Baru dua tahun lamanya dia hidup di Jakarta dan mendapat penghasilan dari menjadi wanita malam. Lalu dia mengatakan bahwa sesungguhnya dia tidak ingin menjadi wanita malam karena takut masuk neraka. Tapi dia berdalih jika tidak bekerja sebagai wanita malam bagaimana bisa mendapat makan.
Dalam kurun waktu dua tahun dia menjadi wanita malam tersebut, menjadi hijab baginya sehingga memiliki rumus berpikir yang menyesatkan. Bahwa kalau tidak bekerja sebagai wanita malam tidak bisa makan. Padahal sebelumnya selama 18 tahun sejak lahir hingga usia 18 tahun dia tidak melakukan perbuatan terlarang. Selama itu pula dia tetap hidup dan mendapatkan rezeki dari Allah. Terbukti selama 18 tahun tanpa menjadi wanita malam dia tetap bisa makan.
Perkataan dan pikiran yang menyatakan kalau tidak menjadi wanita malam tidak makan adalah omongan atau pikiran yang menyesatkan. Pikiran yang berdasar hawa nafsu.
Maka bagi kita penting untuk tidak menuruti hawa nafsu dengan senang melakukan hal yang boleh atau mubah. Seperti merasa senang saat ngopi. Merasa senang saat  merokok. Sebab menafikan kesenangan dengan mencari kesenangan dari maksiat itu hal yang sangat parah. Juga halnya pada orang yang senang dugem atau melihat pornografi. Dengan alasan kalau tidak melakukannya, tidak bisa senang.
Sementara jika kita melihat orang di desa desa yang hidupnya di gubuk tapi tetap bisa merasa senang. Dengan merokok dan dibuatkan kopi oleh istrinya sudah senangnya bukan main. Dengan merasa senang hal mubah, dia tidak melakukan perbuatan terlarang dan tidak maksiat.
Contoh lain pada anak kecil yang bermain kelereng namun sudah merasa senang. Pada orang-orang Sholeh yang merokok dan mengobrol bersama teman temannya. Mereka bisa tertawa lepas meninggalkan maksiat. Maka penting bagi kita jika melakukan hal mubah diniatkan ridho dengan mengatakan "Ya Allah aku niat meninggalkan maksiat". Bahwa taat atau meninggalkan maksiat itu sudah dapat menyenangkan hati. Jika cara berpikir seperti itu yang dipegang, maka kita bisa mendapat ganjaran layaknya wali.
Namun saat ini orang sudah banyak yang tidak menggunakan akal sehat. Mengira kebahagiaan hanya bisa didapat dengan maksiat. Itu merupakan hal yang tidak realistis. Sebab kenyataannya banyak orang yang bisa senang dengan tanpa melakukan maksiat. Jadi orang jika menggunakan nafsu maka logika akal sehat berdasar logis matematis menjadi tidak berguna.