Mohon tunggu...
Zahra Syahrani
Zahra Syahrani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Indonesia

Memiliki ketertarikan di bidang menulis dan kesusastraan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Binge Eating: Ketika Rasa Lapar Tak Lagi Hanya Tentang Perut

19 Desember 2024   22:27 Diperbarui: 19 Desember 2024   22:25 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Marcel Heil (Unsplash)

Tahukah kamu bahwa binge eating menjadi salah satu perilaku makan yang sering terjadi di berbagai kalangan, tetapi sering kali tidak disadari bahkan dianggap sepele? Padahal, dampaknya terhadap kesehatan bisa sangat serius. Pernahkah kamu merasa tidak bisa berhenti makan meskipun sudah kenyang? Atau mungkin saat merasa tertekan kamu mencari makanan sebagai pelarian?

Perasaan tersebut bisa jadi merupakan tanda binge eating, dimana seseorang mengonsumsi makanan dalam jumlah yang berlebih (binge) dan merasa tidak dapat berhenti makan. Hampir setiap orang pernah mengonsumsi makanan berlebih sesekali. Namun, jika keinginan untuk mengonsumsi makanan berlebih terjadi rutin dan dirasakan lepas kendali, itu bisa jadi tanda binge eating disorder. Menurut National Eating Disorder Collaboration (NEDC), prevalensi penderita binge eating secara global mencapai 4% dengan 3,5% diantaranya perempuan serta 2% laki-laki dan kondisi ini paling sering terjadi pada awal usia 20 tahunan.

Apa Penyebab Terjadinya Binge Eating Disorder?

Binge Eating Disorder (BED) dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk psikologis, sosial, dan keluarga. Faktor psikologis seperti rendahnya kepercayaan diri, depresi, kesulitan mengungkapkan emosi, serta pola pikir yang terlalu kaku membuat seseorang lebih rentan terhadap gangguan ini. Tekanan sosial juga memegang peranan penting, terutama di budaya barat yang memuja tubuh ideal dan sering mengaitkan tubuh kurus dengan kesuksesan. Selain itu, nilai-nilai keluarga, termasuk masalah dengan citra tubuh atau standar yang ditanamkan orang tua, dapat meningkatkan risiko BED. 

Diet ketat sering menjadi pemicu utama BED karena dapat menyebabkan seseorang kehilangan kendali terhadap kebiasaan makan akibat rasa lapar yang berlebihan atau tekanan psikologis. Situasi sosial, seperti pengalaman diejek karena penampilan atau tekanan untuk mengikuti kebiasaan teman sebaya, juga dapat memicu pola makan yang tidak sehat. Di sisi lain, emosi negatif seperti stres, marah, atau cemas sering kali mendorong seseorang untuk makan berlebihan sebagai bentuk pelarian dari perasaan tersebut. Hal ini kemudian menciptakan lingkaran tak berujung antara diet, makan berlebihan, dan rasa bersalah.

Siapa yang Berisiko Mengalami Binge Eating Disorder? 

Gangguan ini lebih sering dialami oleh orang dengan obesitas, terutama obesitas parah, meskipun tidak semua orang dengan obesitas mengalaminya. Kondisi ini juga banyak ditemukan pada usia muda hingga setengah baya, serta pada penderita diabetes tipe 1 dan tipe 2, karena tekanan untuk terus mengontrol berat badan dan pola makan. Selain itu, pengalaman masa kecil yang kurang menyenangkan, seperti konflik keluarga atau komentar negatif tentang bentuk tubuh dan berat badan, sering dikaitkan dengan gangguan ini. Faktor genetik juga memainkan peran penting, sehingga gangguan makan berlebihan cenderung terjadi dalam keluarga.

Apa Dampak Binge Eating Disorder Terhadap Kesehatan?

Gangguan makan berlebihan bukan hanya soal berat badan---kondisi ini bisa memicu berbagai masalah serius, mulai dari diabetes tipe 2, penyakit jantung, hingga kanker. Dampaknya tak berhenti di fisik, karena gangguan ini juga sering dikaitkan dengan depresi, kecemasan, bahkan pikiran untuk bunuh diri. Tak jarang, penderitanya juga mengalami gangguan tidur, masalah pencernaan, nyeri sendi, hingga kesulitan menjalani aktivitas sehari-hari. Singkatnya, gangguan ini bisa mengganggu kesehatan tubuh sekaligus merusak keseimbangan hidup.

Begitu pula halnya dalam ranah kesehatan mental, BED merupakan gangguan kesehatan mental yang serius sehingga dapat mengurangi kualitas hidup penderitanya secara signifikan. Rasa malu, perasaan jijik, depresi, dan rasa bersalah mendorong penderitanya untuk mengisolasi diri dan menimbulkan kondisi makan berlebihan untuk mengatasi perasaan tersebut. Diperparah dengan pilihan makanan yang dikonsumsi adalah jenis junk food yang tidak memenuhi pedoman gizi seimbang. 

Lalu, bagaimana Pemerintah Indonesia Memandang Kondisi Ini? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun