Apa yang kalian tahu tentang Inggit Garnasih? Nama Inggit Garnasih mungkin tidak terlalu familiar, ya, di telinga, Â tak banyak juga yang tahu dia adalah istri kedua Sukarno. Padahal dia memiliki jasa yang sangat besar hingga Soekarno dapat menjadi seseorang yang Sukses. Daripada bingung, langsung aja yuk simak siapa Inggit Garnasih itu!
Namanya Garnasih, ia lahir tanggal 17 Februari 1888 di Desa Kamasan, Bajaran, Kabupaten Bandung. Garnasih merupakan putri dari Arjipan dan Amsi, juga saudara perempuan dari Natadisastra dan Muntarsih, pendidikan terakhirnya hanyalah madrasah Ibtidaiyyah. Saat remaja Garnasih merupakan gadis yang cantik, karena itulah banyak lelaki yang menyukai dan mencoba mencuri hatinya, di antara para pemuda beredar kata-kata "senyuman dari Garnasih bagaikan mendapat uang seringgit." dari situlah kata 'Inggit' tercipta dan ia mengganti namanya menjadi Inggit Garnasih. Di umur yang masih sangat belia Inggit menikah dengan Nata Atmaja, seorang patih, tetapi pernikahannya berakhir dengan perceraian. Setelah itu dia menikah lagi dengan Haji Sanusi, pengusaha yang juga aktif di organisasi Sarekat Islam, lalu datanglah Sukarno, dan dengan segaala pesonanya membuat Inggit memilih meninggalkan Haji Sanusi dan beralih menikah dengan Sukarno yang kala itu berumur 22 tahun, sedangkan Inggit berumur 36 tahun. Dapat dikatakan Inggit merupakan sosok wanita terbaik dalam pendewasaan Sukarno, ia yang selalu menemani Sukarno ketika masa sulit, membiayai pendidikan Sukarno di Technische Hoge School (sekarang dikenal dengan ITB) hingga lulus, dan setelah lulus pun Sukarno tidak bekerja melainkan melanjutkan kegiatan politik nya.Â
Dapat dikatakan bahwa Inggit adalah tulang punggung keluar mereka. Inggit pula yang selalu memberikan kekuatan ketika Sukarno dijebloskan ke Penjara Banceuy di Bandung lalu dipindahkan ke Sukamiskin. Setiap berkunjung ia  menyelipkan uang di dalam makanan yang dibawanya agar Sukarno bisa membujuk penjaga untuk membelikannya surat kabar. Selama Sukarno di penjara, Inggit juga menjadi perantara suaminya agar bisa terus berhubungan dengan para aktivis pergerakan nasional lainnya. Inggit juga sering membawakan buku untuk Sukarno, ia rela berpuasa 3 hari agar buku dapat diselipkan di perutnya.  Ketika Sukarno dibuang di Ende (1934), sebuah tempat terpencil di Pulau Flores, Inggit beserta keluarga juga ikut serta, berusaha memberikan dukungan moral untuk "Engkus" panggilan sayang Inggit kepada Sukarno, di sana Inggit menjadi sahabat, teman bicara dan diskusi Sukarno.
Pada pembuangan selanjutnya di Bengkulu pun Inggit ikut, di sana mereka bertemu dengan Fatmawati dan mulailah retak pernikahan keduanya. Sukarno menginginkan anak dan berencana menikahi Fatmawati tanpa menceraikan Inggit, Inggit tak mau dimadu, lebih baik ia bercerai dan pulang ke Bandung. Setelah perdebatan panjang, akhirnya mereka berpisah dan Inggit kembali ke Bandung, lalu tinggal di jalan Ciateul No. 8 (yang sejak tahun 1977 berubah menjadi Jl. Inggit Garnasih) Inggit menjalani harinya dengan menekuni kegiatan meramu jamu dan membuat bedak serta parem.
Ketika Bung Karno meninggal, Inggit datang ke Wisma Yaso (1970). Di samping jasad Sukarno ia berkata "Engkus, geuning Engkus tehmiheulan, ku Inggit di doakeun...." (Engkus, kiranya Engkus mendahului, Inggit doakan....). Hingga menjelang kematiannya sendiri pada 13 April 1984, hanya Sukarno yang ia cintai, ia tidak pernah menuntut balas untuk semua hal yang telah ia berikan pada Sukarno, ia layaknya ibu yang memberikan semua yang ia punya pada anaknya dengan ikhlas dan tanpa pamrih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H