Pemikiran Max Weber menekankan pentingnya tindakan sosial yang menggunakan konsep rasionalitas. Weber menjelaskan bahwa makna dan tujuan suatu tindakan secara tidak langsung dapat memberikan dampak terhadap individu lain. Ia mengklasifikasikan tindakan sosial menjadi dua kategori. Pertama, tindakan rasional yang terdiri atas rasionalitas instrumental (zweckrational) dan rasionalitas nilai (wertrational). Kedua, tindakan non-rasional, yang mencakup tindakan afektif (affective action) dan tindakan tradisional (traditional action). Weber juga menyoroti bahwa otoritas memiliki pengaruh signifikan terhadap rasionalitas. Dalam konsep perkembangan peradaban Weber, terdapat empat tingkatan perkembangan, yaitu peradaban primitif, peradaban kuno, peradaban historis, dan peradaban modern. Menurutnya, perkembangan yang berlandaskan rasionalitas akan membawa kemajuan, sedangkan otoritas yang irasional justru menghambat proses tersebut.
Sementara itu, H.L.A. Hart berpendapat bahwa hukum dapat dipahami melalui aturan primer dan aturan sekunder. Aturan primer mencakup peraturan-peraturan tertulis, seperti undang-undang, yang memberikan kewajiban kepada setiap individu dalam suatu sistem hukum. Aturan sekunder, di sisi lain, adalah syarat adanya sistem hukum itu sendiri. Tanpa aturan sekunder, sistem hukum tidak dapat berjalan. Aturan sekunder ini terdiri dari aturan pengakuan (rule of recognition), aturan perubahan (rule of change), dan aturan pemutusan (rule of adjudication). Menurut Hart, pandangan moral tidak memengaruhi penafsiran hukum secara mutlak. Dengan demikian, hubungan antara hukum dan moral tidak selalu bersifat absolut.
Pemikiran Weber tentang rasionalitas menunjukkan bahwa faktor ini sangat penting dalam membangun masyarakat yang maju. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangan teknologi dan globalisasi masa kini, yang sesuai dengan tingkatan peradaban Weber---dari primitif, kuno, historis, hingga modern. Rasionalitas tidak hanya diperlukan di tingkat masyarakat, tetapi juga pada otoritas yang memimpin. Sebaliknya, Hart menekankan pemisahan antara hukum dan moralitas, yang menjadi topik perdebatan di era modern. Saat ini, banyak masyarakat yang memperjuangkan hak asasi manusia, termasuk kebebasan berekspresi dan hidup bahagia, tanpa bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Namun, dalam realitasnya, otoritas di Indonesia masih cenderung bersifat irasional, yang menjadi penghambat kemajuan negara. Masih banyak kebijakan atau tindakan yang dipengaruhi oleh kepentingan pribadi para pemimpin. Sementara itu, hubungan antara hukum dan moralitas di Indonesia tergolong baik, karena sistem hukum yang pluralisme. Meski demikian, hal ini dapat dianggap tidak utuh menurut pandangan Hart, karena hukum sering kali dipengaruhi oleh nilai-nilai di luar sistem hukum. Pada akhirnya, keadilan tetap menjadi kunci utama. Keadilan bukan berarti kesetaraan absolut, melainkan memberikan sesuatu sesuai dengan porsinya.
Referensi:
Bello, P. C. (2014). Hubungan Hukum dan Moralitas Menurut H.L.A Hart. Jurnal Hukum Dan Pembangunan, 44(3). https://www.researchgate.net/project/Hubungan-Hukum-dan-Moral#:~:text=3. Hukum mengatur perbuatan lahiriah,lebih menyangkut sikap batin manusia.&text=Hukum dan moralitas hanya berbeda,sama-sama mengatur perilaku manusia.
Haryono, S. D. (2022). Wacana Rasialisme Dalam Sosiologi Max Weber. Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora, 13(2), 400. https://doi.org/10.26418/j-psh.v13i2.55007
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI