Mohon tunggu...
Zahra putri pratiwig
Zahra putri pratiwig Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Baca, tulis, baca, tulis, tidur

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Belajar Sejarah Melalui Karya Fiksi Semua untuk Hindia (Review Buku)

6 Juni 2022   21:45 Diperbarui: 6 Juni 2022   21:47 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejarah, jikalau mendengar namanya para generasi muda terkadang sudah merasakan kebosanan. Namun, anggapan itu dijungkir balikkan ketika saya mulai membaca lembaran cerpen pada karya sastra Semua Untuk Hindia. Sang penulis, Iksaka Banu mengemas bentuk cerita dengan ringan dan menarik. Oleh karena itu, tidak akan heran jika cerpen ini dapat diselesaikan hanya dalam satu hari. 

Pengemasan cerita sejarah dengan latar belakang merentang dari masa pra-kedatangan Cornelis de Houtman hingga awal Indonesia merdeka, memberikan bekas tersendiri setelah usai membaca. Membayangkan apabila setiap cerita benar akan adanya membuat logika dan perasaan saya campur aduk. 

Namun, fiksi tetaplah fiksi. Tokoh dan beberapa peristiwa yang diambil memang benar akan kehadirannya, akan tetapi alur cerita tetaplah hanya karangan penulis. Apresiasi saya berikan terhadap kehadiran karya sastra Semua Untuk Hindia. Maka tak heran apabila cerpen ini mendapatkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa (2014).

Dalam karangannya, Iksaka Banu seringkali melibatkan dirinya sebagai tokoh aku. Tokoh aku yang disajikan memiliki keberagaman tanpa batas. Seperti pada "Stambul Dua Pedang" (halaman 13), tokoh aku digambarkan sebagai seorang nyai. Lalu pada "Keringat dan Susu" (halaman 25), keterlibatan sang narator sebagai aku menjadi seorang Letnan Pieter Verdragen. 

Narator aku, si penulis seakan-akan menjadi pengendali dalam cerita. Sang aku melengkapi dirinya baik sebagai seorang yang memancing atau dipancing oleh tokoh lainnya. Cerita dalam karya sastra ini bersifat runtun maju dengan rangkaian kilas balik. Rupanya sang aku yang dinarasikan oleh penulis sangat memudahkan alur cerita sehingga tampak tidak berbelit. 

Satu hal yang menarik saya dalam penarasian tokoh-aku. Tokoh-aku ternyata selalu mengambil dari sudut pandang orang kulit putih (kecuali "Stambul Dua Pedang") sehigga terasa baru bagi saya yang selalu membaca sejarah dari sudut pandang orang lokal.

Penarasian tokoh aku dari sisi penjajah memberikan saya dua kesimpulan baru. Mereka datang ke bumi nuasantara untuk tujuan kolonialisme atau mereka datang karena terbawa oleh keluarga yang sudah menetap sejak awal. Bagi mereka yang sudah menetap sejak kecil, dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pribumi membuat mereka secara tidak langsung berjiwa nasionalis.

Dalam bab "Selamat Tinggal Hindia" (halaman 1), tokoh Belanda bernama Nona Geertje digambarkan sebagai seseorang yang sangat membenci penjajahan. Hal ini tampak pada beberapa dialog yang dilontarkan oleh Gertjee sebagai berikut:

  1. "Bila api revolusi telah berkobar, tak ada yang bisa menahan"
  2. "Mereka hanya ingin mandiri,seperti kata ayahku dulu. Ayah pengagum Snevliet. Ia siap kehilangan hak-hak istimewanya di sini. Aku sendiri seorang guru sekolah bumiputra. Lahir, besar di tengah bumiputra. Saat Jepang berkuasa, kusadari bahwa Hindia Belanda bersama segala keningratannya telah usai. Aku harus berani mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Dan apapun yang ada di ujung nasib, aku akan tetap tinggal di sini. Bukan sebagai 'penguasa' seperti istilahmu...."

Tokoh Gertjee di akhir cerita memberikan saya rasa terkejut yang tak terbayangkan. Nona belanda itu berani untuk melakukan pemberontakan anti-NICA dan menjadi buronan para sersan Belanda. Pada dinding lapuk, tergantung satu set watafel lengkap dengan cermin. diatas permukaan cermin ditulis sederet tulisan dengan pemerah bibir. 'Selamat tinggal Hindi Belanda. Selamat datang Repoeblik Indonesia'.

Ketika memasuki setiap bab baru, Iksaka Banu seringkali melempar kita masuk pada situasi genting. Dalam "Pollux", pada awal pengisahan seorang tokoh bernama Letnan Renard yang berasal dari Belgia, menghadapi penyergapan karena dianggap memberontak. Dibutikan pada narasi paragraf pertama 'Memasuki lorong lembap ini, yang berminat merusak tubuhku tampaknya bertambah satu' (halaman 79).

Karya Sastra fiksi-sejarah ini dilakukan dengan melakukan penelitian fakta sejarah sehingga Iksaka Banu memiliki beragam latar belakang sebagai ide dalam karyanya. Iksaka Banu sering membuat keterlibatan antar tokoh dan peristiwa sebagai serba kebetulan. Pada "Penunjuk Jalan" (Halaman 117), terdapat keterlibatan Untung Surapati, sebagai penyamun yang ditakuti. Tokoh-aku terlibat dengan tokoh Untung surapati ketika melewati hutan dan kereta yang ditumpangi tokoh-aku mengalami kecelakaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun