Mohon tunggu...
Zahra Nurila
Zahra Nurila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S-1 Keperawatan, Universitas Airlangga

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Etik Dalam Perawatan Pasien Dengan HIV

9 Oktober 2024   05:15 Diperbarui: 9 Oktober 2024   08:09 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada masa kini, tenaga kesehatan dihadapkan dengan berbagai masalah etika, salah satunya dalam menangani kasus HIV/AIDS. Menurut Kementerian Kesehatan tahun 2019, mencatat kasus HIV di Indonesia dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 2015 kasus HIV sebesar 30.935 jiwa, tahun 2016 meningkat menjadi 41.250 jiwa, tahun 2017 meningkat menjadi 48.300 jiwa, tahun 2018 mengalami penurunan sebesar 46.659 jiwa, dan meningkat kembali pada tahun 2019 sebanyak 50.282 jiwa dengan 7.036 terkena kasus AIDS. Infeksi HIV tahun 2019 paling banyak terjadi pada kelompok usia produktif, yaitu usia 25-49 tahun sebanyak 70,4%.


Menurut World Health Organization (WHO) pada akhir tahun 2020 secara global terdapat sekitar 37,7 juta orang yang hidup dengan HIV (ODHIV), yakni 95,5% merupakan orang dewasa dan 4,5% adalah anak-anak. Berdasarkan laporan dari Kementerian Kesehatan tahun 2023, kasus terjadinya HIV/AIDS di Indonesia masih terhitung tinggi. Terakhir kali tercatat pada September 2023 sebanyak 515.455 orang dengan HIV atau ODHIV (orang dengan HIV).


Menurut WHO (2014), HIV adalah virus yang menginfeksi sel darah putih dan menyebabkan penurunan imunitas manusia atau sistem kekebalan tubuh manusia serta melemahkan kemampuan dan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit yang datang, sedangkan AIDS adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh  yang disebabkan oleh infeksi HIV.


Penularan HIV dapat melalui berbagai cairan tubuh, seperti darah, ASI, air mani, dan sekresi vagina, serta dapat ditularkan selama masa kehamilan dan persalinan. Selain itu, penularan HIV dapat ditularkan melalui jarum suntik yang digunakan secara bersamaan, jarum suntik yang digunakan untuk penyalahgunaan napza, transfusi darah, melakukan hubungan seksual dengan ODHIV yang tidak sadar mengalami HIV, tanpa menggunakan pengaman, berganti pasangan secara berulang, serta  berhubungan seksual melalui dubur atau anus.


HIV merupakan penyakit yang berbahaya karena penyakit ini yang menyerang sistem kekebalan tubuh, khususnya sel darah putih disebut sel CD4. HIV menghancurkan sel CD4 sehingga melemahkan kekebalan manusia terhadap penyakit, seperti tuberkulosis, infeksi jamur, infeksi bakteri tingkat berat, dan beberapa jenis penyakit kanker. Penting untuk diingat HIV tidak dapat sembuh total meskipun diberikan obat-obatan antiretroviral yang dapat menghambat replikasi virus dan memperpanjang hidup penderita.


Menurut data dari Kementrian Kesehatan (2023) menunjukkan bahwa HIV/AIDS masih menjadi salah satu penyebab utama kematian di dunia, terutama di negara berkembang. Walaupun begitu, penderita HIV masih sering mengalami stigma dan diskriminasi yang dapat menghambat mereka untuk mendapatkan perawatan yang layak.


Sebagai pendukung orang yang hidup dengan HIV/AIDS, profesional kesehatan menghadapi banyak dilema etika dalam praktik klinis. Dalam kasus ini, HIV merupakan penyakit mengancam dan menular yang dapat membahayakan keluarga dan lingkungan sekitar.
Penelitian yang dilakukan Lu, Xiaoxiao, et. al (2022) mengenai pengambilan keputusan etis didapatkan bahwa sebagian besar para profesional mempertimbangkan kepentingan orang lain dan menyesuaikan diri dengan hukum dan kode etik profesional. Namun dalam perawatan ODHIV (Orang dengan HIV), kecenderungan para profesional adalah tidak menerapkan prinsip Confidentiality, yaitu kerahasiaan kondisi medis pasien. Dalam kasus perawat yang merawat pasien ODHIV, perlu dilakukan pengecualian terhadap hak kerahasiaan pasien sebagai kewajiban moral organisasi layanan kesehatan untuk melaporkan penyakit menular kepada otoritas kesehatan masyarakat setempat. Namun, dalam penyampaian situasi dan kondisi ini juga diperlukan persetujuan pasien sebagai hak otonomi pasien.


Hubungan antara pasien dan perawat merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi otonomi pasien yang mana apabila hubungan tersebut buruk maka menurunkan kualitas perawatan dan otonomi pasien, seperti pasien yang enggan mempertahankan hubungan baik dengan para profesional, terutama perawat. Oleh karena itu, keberhasilan hubungan terapeutik antara tenaga kesehatan dengan pasien menjadi kunci penting dalam menjaga privasi pasien, serta mencegah penularan HIV kepada keluarga dan lingkungan sekitar pasien. 


Penulis: Anggita Junda Arnowi, Chantiqueqa Sekar A. P. S., Dwi Indah Yudhianti, Intan Ramadhani, dan Zahra Nurila
Editor: Marsha Nayla Kurniawan dan Zahra Nurila

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun