Bunyi senjata api terdengar saling menyahut di sekeliling bumi yang kupijak. Teriak histeris ribuan orang menggema tatkala darah segar mengalir, menjadikan tempat ini layaknya dunia kematian. Langit petang itu seakan memberi efek tegang, gelap mencekam. Dan di sinilah aku, terjebak di antara raga yang tak bernyawa, tubuh penuh luka dan hati yang pilu. Meringkuk panik dalam bising, menahan diri untuk tidak berbuat nekat. Sendiri bersama ribuan mayat terkapar, menunggu tak pasti untuk menagih janji kakak. Ya, kakak pasti kembali. Kakak tidak mungkin meninggalkanku. Kakak adalah orang yang paling menyayangiku dan akan selalu begitu. Apapun yang terjadi aku akan terus menunggu kedatangannya, menjemput dan menarikku dari tempat yang kusebut neraka dunia.
Hingga malam tiba, kakak tak jua datang. Kakak di mana? Aku takut kak. Gadis seusia diriku mustahil untuk bertahan dalam keadaan seperti ini. Bau amis darah pun mulai menusuk indra penciuman ku. Peperangan perlahan mereda namun ketakutan itu masih ada. Tubuhku lemas, menahan getar dan lapar. Aku bimbang, antara pergi atau tetap di sini, menunggu sesuatu yang abu. Aku akan sangat membenci Kakak jika Kakak benar-benar meninggalkanku. Di satu sisi aku kecewa, tapi di sisi lain perasaanku tidak tenang. Pikiranku kalut dan keringat terus membanjiri seluruh permukaan wajahku. Menambah kesan lusuh yang melekat Sejak pagi tadi.
Tok.. Tok.. Tok..
Terdengar jelas suara ketukan pintu di hadapanku. Apa itu kakak? tidak mungkin nippon mengetahui rumah pohon yang Ayah bangun saat aku berumur 7 tahun ini. Semangatku mulai membara, memunculkan harapan yang sempat sirna.Ternyata kakak masih peduli denganku! Tanpa pikir panjang, aku menarik pengait pintu berbahan kayu tersebut dan saat terbuka nampaklah laki-laki sebaya denganku. Tunggu, siapa dia? Mengapa dia bisa mengetahui rumah pohon ini? Apa dia termasuk ke salah satu Nippon yang jahat itu? Lalu, di mana Kakak?." Kamu rasi kan?", tanya laki-laki itu kepadaku. Aku mengangguk pelan dengan mata penuh tanya. " ikutlah denganku, agar kau aman. Nanti akan ku Jelaskan Perihal apa yang terjadi" ucapnya Seraya menjulurkan tangannya. Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku tidak kenal dengan laki-laki bermata biru itu, tapi aku juga tidak bisa terus-terusan bersembunyi. Aku terdiam cukup lama, sampai laki-laki itu berbicara lagi." Ayo cepatlah! Apa kau ingin mati secara mengenaskan? Tenang saja, aku bukan orang jahat! ". Baiklah, sepertinya yang dikatakan oleh pemuda itu benar. Lebih baik aku mengikutinya. Anggap saja dia pahlawan kesianganku, Eh maksudku malam. Tentang kakak, aku tidak ingin membahasnya. Aku sudah sangat membencinya. dia tidak peduli dengan diriku. mungkin saja kakak sudah kabur entah ke mana dan hidup enak seorang diri.
Aku meraih uluran tangan pemuda itu, dan dia membantuku untuk menuruni tangga sebagai akses jalan. 5 anak tangga terlewati, sampailah aku di dasar tanah. Aku mengedarkan penglihatanku dan yang kutangkap hanyalah sunyi. Tak ada satupun suara manusia melainkan hanya seruan burung hantu dan kerusuhan kelelawar saat berekolokasi. Hatiku terasa begitu nyeri. Ribuan pribumi tak berdosa harus menanggung sakit karena Nippon yang kejam dan serakah. "Ayo pergi!". Pemuda itu menarik pelan jemariku. Dengan sedikit tergesa-gesa, aku mengikuti langkah panjangnya. Melewati banyak mayat, berjalan sepanjang kurang lebih 700 meter hingga sampai di depan sebuah gua tua.
"kenapa kita kesini?" tanyaku dengan heran. Pemuda itu menoleh, dan raut wajahnya berubah menjadi sendu. Perlahan, Ia memegang pundakku. Berusaha mengatakan sesuatu yang sejak tadi tertahan. Satu helaan napas keluar, kemudian Ia berbicara. "Kau ingin bertemu dengan kakakmu kan? Dia ada di dalam, bersama dengan ayahku". Deg! Jantungku berpacu lebih cepat. Otakku terus berputar, memikirkan tentang apa yang sedang terjadi. Tadi apa katanya? Kakak ada di dalam gua itu? Kenapa kakak ada disana dan bagaimana pemuda itu bisa mengetahui tentang kakak?
"simpan dulu pemikiran kamu, setelah kamu masuk dan melihat semuanya, aku akan menjelaskan kepadamu siapa aku dan apa hubungan kami dengan kakakmu". Sedikit ragu, aku menganggukan kepala. Tidak mau ambil pusing dan ingin segera mengetahui semuanya. Kami pun memasuki gua tua itu secara beriringan.
Nyeri. Itu yang kurasakan saat masuk ke dalam gua. Pemandangan menyakitkan di depan mataku membuat tubuhku seketika lemas. Kakiku terasa seperti jeli, tak kuasa menahan diri. Aku mengepalkan tangan, menahan sakit dan emosi. Cairan bening mulai menggenangi pelupuk mata. Tak bisa menahan tangis, cairan itu pun terjatuh. Semakin dekat diriku, semakin deras tangisku. Ya tuhan, siapa wanita itu? Apa itu kakak? Tapi, kenapa kakak tertidur dengan banyak darah di tubuhnya? Kakak kenapa?
"kak!", aku menghampiri kakak dan memeluk lengannya yang dingin. Wajah kakak terlihat damai, seolah tidur dengan tenang. "kak, ayo bangun! Rasi udah datang! Katanya kakak mau menjemput tapi rasi tunggu-tunggu ternyata kakak gak datang. Kakak gak kangen sama rasi? "aku berusaha membangunkan kakak yang terkulai lemas. Aku bukan lagi anak kecil yang tidak bisa membedakan orang yang masih hidup dan yang sudah tiada. Tapi, bagaimana aku harus menerima kenyataan padahal baru saja kemarin aku dan kakak mengobrol? Ini terasa seperti mimpi. Ya, mungkin saja aku sedang bermimpi.
Pemuda bermata biru tadi memajukan langkahnya, lalu mulai membuka suara. Menjelaskan semuanya dari awal. "sebelumnya perkenalkan, nama aku Hans. Kemarin saat aku dan ayahku berusaha kabur dari kejaran Nippon, tidak sengaja kami bertemu dengan kakakmu. Kebetulan, Ayah mengenalnya dan pada saat itu kakakmu berniat menolong kami. Menyuruh kami untuk pergi. Namun ayah bersikeras ingin mengajak kakakmu kabur bersama-sama. Sayangnya keadaan saat itu sedang tidak memungkinkan. Lalu kakakmu menyuruhku untuk mencari anak perempuan bernama rasi yang sedang bersembunyi di rumah pohon, lebih tepatnya ke arah barat hutan. Dan bertemulah aku dengan dirimu. Sehingga yang tersisa hanyalah ayah dan kakakmu. Terakhir bertemu kakakmu, aku sudah melihat ada bekas luka tembak di area jantungnya. Dan aku sudah memprediksi ini sejak awal, bahwa tanpa penanganan medis kakakmu kemungkinan tidak akan selamat. Jadi, aku dan ayahku ingin meminta maaf karena tidak bisa menyelamatkan kakakmu."
Mendengar penjelasan Hans, hatiku terasa begitu remuk. Dengan jahatnya aku beranggapan bahwa kakak membenciku. Pada kenyataannya, kakak justru sedang melawan rasa sakit. Rasa sakit demi melindungi hans dan ayahnya. Rasa sakit demi melindungi diriku, adik kesayangannya. Aku bingung harus apa kak, karena kakak adalah peran utama yang membuatku tetap kuat. Tapi sekarang, sosok penguat itu justru sudah tidak ada. Kakak menyusul bunda dan ayah di surga sedangkan aku sendirian.