Setiap kota tentu memiliki sejarah di balik keberadaannya. Kisah-kisah tersebut yang menjadikan setiap kota begitu spesial dengan jalan kisahnya sendiri. Serentetan kisah itulah yang dari waktu kewaktu akan membentuk rupa kota kita. Coba sejenak kita bernostalgia bagaimana rupa kota kita 10 tahun yang lalu, kemudian bandingkan dengan rupa kota kita sekarang. Apakah mengalami perbedaan? Saya yakin jawabannya berbeda. Apakah anda merasakan perbedaan tersebut? Jika tidak, sepertinya kita harus lebih sering bernostalgia, mengingat bagaimana rupa kota kita dulu. Dengan bernostalgia semacam ini, anda akan menyadari betapa kota sangat jauh berkembang pesat.
Perkembangan kota yang begitu pesat ini yang kemudian memunculkan suatu fenomena sosial yaitu perang narasi kota. Saya rasa saat ini setiap kota memiliki julukan kebanggaan masing-masing. Contoh sederhananya saja, kota Solo memiliki julukan “Kota Budaya” atau kota Yogyakarta sebagai “kota pelajar”.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah memang pantas kota kita menyandang predikat tersebut? Apakah narasi tersebut memang sengaja dibentuk hanya untuk menjadikan daya tarik kota tersebut? Bukan kah seharusnya narasi tersebut dibentuk berdasakan kenyataan, bukan berdasarkan keinginan? Di sinilah yang menjadi poin penting untuk membentuk atau merencanakan suatu narasi kota.
Narasi kota tidak sekedar “kesemogaan” yang diharapkan terbentuk di kota tersebut, namun juga memerlukan suatu kearifan untuk membentuknya. Apalah guna narasi tanpa arti? Itulah mengapa merencanakan narasi kota menjadi penting untuk membentuk suatu rupa kota agar kita tidak hanya sekedar “menjual” kota. Karena, kota kami tidak untuk dijual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H