Cancel culture merujuk pada praktik sosial yang muncul di media digital, di mana individu atau entitas dihukum secara publik melalui boikot atau penarikan dukungan karena dianggap telah melakukan tindakan atau pernyataan yang ofensif. Fenomena ini banyak berkembang sejak akhir 2010-an dan dipercepat oleh pergerakan sosial seperti #MeToo dan Black Lives Matter. Melalui kekuatan media sosial, cancel culture memungkinkan publik untuk menyebarkan kritik secara luas dan cepat, yang sering kali menyebabkan dampak besar pada karier atau reputasi seseorang.
Salah satu elemen yang menonjol dalam cancel culture adalah dampak psikologis yang signifikan bagi orang yang "dibatalkan". Ketika seseorang atau sebuah perusahaan dibatalkan, mereka dapat menghadapi isolasi sosial, kehilangan peluang kerja, hingga masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Di sisi lain, pelaku canceling juga dapat merasakan tekanan emosional jika upaya mereka dianggap tidak efektif atau jika target mereka terus menolak untuk mengakui kesalahan.
Kasus yang cukup menonjol adalah konser Beyoncé di Dubai pada Januari 2023. Penampilannya di acara pembukaan hotel mewah Atlantis the Royal menimbulkan kritik keras, terutama dari komunitas LGBTQIA+. Kritikan tersebut muncul karena hukum di Dubai yang keras terhadap homoseksualitas, yang dianggap bertentangan dengan tema album Renaissance milik Beyoncé, yang sangat menghargai dan merayakan budaya queer. Banyak penggemar merasa kecewa karena Beyoncé memilih untuk tampil di negara yang tidak mengakui hak-hak LGBTQ+, yang memicu seruan untuk “membatalkan” Beyoncé karena dinilai mengorbankan nilai-nilai progresifnya demi keuntungan finansial.
Kritik dari Komunitas LGBTQIA+
Album Renaissance yang dirilis Beyoncé sebelumnya telah banyak dipuji karena membawa tema-tema budaya queer, merayakan kreativitas dan kontribusi komunitas LGBTQIA+ dalam musik dan seni. Banyak penggemar merasa bahwa penampilannya di Dubai bertentangan dengan pesan dari albumnya, mengingat negara tersebut dikenal karena kebijakan ketatnya terhadap hak-hak LGBTQ+. Dubai, seperti banyak negara di kawasan Teluk, melarang praktik homoseksualitas, dan komunitas LGBTQ+ di sana menghadapi risiko hukuman hukum yang berat.
Keputusan Beyoncé untuk tampil di Dubai memicu seruan untuk “membatalkan” dirinya di media sosial. Para kritikus menilai bahwa dengan menerima tawaran untuk tampil di negara tersebut, Beyoncé dianggap mengorbankan nilai-nilai progresif yang diusung dalam karyanya demi keuntungan finansial. Menurut laporan, Beyoncé menerima bayaran yang sangat besar untuk penampilannya ini, yang menambah bahan bakar dalam argumen kritikus yang menyebut tindakan ini tidak konsisten dengan dukungan publiknya terhadap hak-hak LGBTQIA+.
Pembelaan dan Respons
Meski menerima banyak kritik, beberapa pihak membela keputusan Beyoncé. Para pendukungnya berpendapat bahwa kehadirannya di Dubai dapat dilihat sebagai upaya untuk menjembatani perbedaan budaya dan membuka percakapan tentang hak-hak LGBTQ+ di wilayah tersebut. Ada juga yang melihatnya sebagai langkah pragmatis di tengah industri hiburan global yang kerap kali membutuhkan penyesuaian dengan norma-norma budaya lokal.
Namun, respons dari publik menunjukkan kekuatan cancel culture dalam menciptakan tekanan terhadap selebriti dan keputusan mereka. Isu ini menunjukkan bagaimana tindakan artis yang dianggap tidak selaras dengan nilai-nilai tertentu dapat memicu gelombang kritik dan boikot, terutama di era media sosial di mana opini publik dapat tersebar luas dan cepat.