Pandemi covid-19 terbukti dapat melumpuhkan banyak sektor di hampir seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kondisi ekonomi menjadi pertimbangan yang penting bagi setiap negara dalam mengambil sebuah keputusan. Kesalahan dalam pengambilan keputusan dalam penanganan covid-19 dapat menjadi malapetaka besar bagi kelangsungan suatu negara. Sehingga, penting bagi pemerintah memikirkan kondisi ekonomi yang tepat agar dapat menunjang kehidupan negaranya.
Kondisi ekonomi Indonesia selama masa pandemi covid-19 jelas mengalami kemerosotan. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang pandemi covid-19 secara kuantitatif mengalami minus 2,07 persen. Hal ini menjadi penanda bahwa Indonesia masih berada dalam kondisi resesi akibat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang minus selama tiga kuartal berturut-turut. Dalam menanggulangi hal tersebut, pemerintah menambah utang sebagai salah satu sumber dana untuk menanggulangi pandemi covid-19 karena dana APBN tidak dapat menutup kebutuhan kas yang defisitnya sudah semakin melebar.
Badan Pengawas Keuangan (BPK) mengkhawatirkan peningkatan jumlah utang yang dimiliki Indonesia selama setahun terakhir semakin menumpuk. Karena, peningkatan utang dan biaya bunga yang dimiliki negara sudah melampaui pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) dan penerimaan negara. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mencatat posisi utang Indonesia hingga akhir Juni 2021 sebesar Rp 6.554,56 triliun. Angka tersebut 41,35 persen dari rasio utang pemerintah terhadap GDP. Jumlah tersebut telah bertambah sebesar Rp 136,41 triliun atau setara dengan 0,86 persen dari GDP dalam waktu satu bulan. Jumlah utang tersebut terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 5.711,79 triliun (87,14 persen) serta pinjaman sebesar Rp 842,76 triliun (12,86 persen).
 Hasil pemeriksaan BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2020 menunjukkan posisi rasio pembayaran utang pokok dan bunga utang luar negeri pemerintah pusat terhadap penerimaan transaksi berjalan Indonesia sudah melampaui batas yang direkomendasikan International Monetary Fund (IMF). Data menunjukkan, Debt Service Ratio (DSR) terhadap penerimaan negara hingga akhir bulan Mei 2021 dengan jumlah utang Indonesia Rp 6,418 triliun, atau dengan rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen. Angka tersebut berada di atas rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 25-30 persen.  Hal tersebut menjadi sorotan banyak pihak karena kondisi ini memperburuk citra pemerintahan di masa pandemi Covid-19.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim bahwa utang merupakan salah satu instrumen penting guna menyelamatkan masyarakat dan perekonomian di masa pandemi covid-19. Pasalnya, utang menjadi salah satu sumber dalam menambal pelebaran defisit yang terjadi pada APBN. Selain itu, pemerintah juga memilih Kebijakan counter cyclical yang penerapannya yaitu dengan meningkatkan pengeluaran dan memangkas pemungutan pajak ketika sedang dalam masa resesi. Kebijakan counter cyclical tersebut digunakan untuk penanganan di bidang kesehatan, pemberian bantuan sosial kepada masyarakat terdampak, bantuan untuk stimulus kepada dunia usaha, dan menjaga kegiatan ekonomi tetap terkendali. Pengeluaran tersebut bersumber dari dana APBN, sehingga kenaikan utang pemerintah menjadi hal yang wajar guna menopang perekonomian negara.
Secara khusus, pembiayaan yang bersumber dari utang kerap kali menjadi sorotan dan cenderung dianggap buruk. Padahal, utang merupakan alat ungkit yang dapat dijadikan sebagai stimulus bagi bangkitnya perekonomian suatu negara. Selain itu, utang dapat memberikan manfaat apabila dikelola dengan hati-hati meskipun dengan resiko defisit yang semakin melebar. Sebagai salah satu sumber pembiayaan, utang menjadi salah satu opsi untuk meredam dampak krisis dan membantu pemerintah untuk keluar dari resesi di masa paceklik seperti saat ini.
Dengan persepsi masyarakat yang buruk terhadap peningkatan utang yang dimiliki negara, pemerintah telah melakukan beberapa strategi dalam menekan biaya utang untuk menjaga keseimbangan fiskal. Diantaranya yaitu melalui kebijakan berbagi beban (burden sharing) dengan Bank Indonesia (BI) serta melakukan konversi pinjaman dan sinergi dukungan pembiayaan dengan Bank Indonesia. Kebijakan konversi pinjaman yang telah dilakukan Pemerintah adalah dengan mengkonversi pinjaman dalam bentuk US Dollar terhadap suku bunga mengambang menjadi Euro dan Yen dengan suku bunga tetap yang rendah mendekati 0 persen.
Maka dari itu, dengan mendukung kebijakan yang dilakukan pemerintah dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Stimulus berupa suntikan dana dari pemerintah diharapkan dapat memacu pelonggaran angka defisit pada APBN. Selain itu, pengendalian terhadap kasus Covid-19 menjadi kunci keberlangsungan mobilitas ekonomi. Diharapkan, Program Vaksinasi dapat menjadi lompatan besar dalam menanggulangi pandemi yang sudah ada setahun belakangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H