15 Agustus lalu, MK (mahkamah konstitusi) mengeluarkan putusan Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang memutuskan bahwa lembaga pendidikan diperbolehkan menjadi salah satu tempat untuk berkampanye. Hal ini kemudian banyak sekali menuai pro dan kontra dari kalangan masyarakat. Timbul banyak pertanyaan apakah hal ini akan membawa dampak baik atau malah sebaliknya.
Di luar putusan ini, kampanye memang selalu tersorot saat mendekati pemilu. Kampanye sangat bersifat krusial bagi para caleg (calon legislatif) maupun capres (calin presiden) disebabkan kampanye sebagai media untuk menyampaikan informasi atau gagasan visi dan misi, serta menarik para masyarakat untuk melakukan pemilihan terhadapnya.
Dapat dilihat dari sisi positif, kampanye dilembaga pendidikan sangatlah dibutuhkan bagi para calon. Tetapi dalam garis besar kampanye dilaksanakan ditingkat yang pelajarnya sudah mencapai batas kecakapan dan hak pilih seperti sekolah menengah atas (SMA) dan Perguruan T inggi. Para kontestan pemilu atau partai politik perlu membicarakan visi dan misi yang bertujuan dinilai oleh para pelajar yang kemudian memunculkan perdebatan persetujuan atas program yang dilaksanakan. Perdebatan ini kemudian menjadi pengujian dan evaluasi gagasan para calon.
Di samping itu, banyak juga yang menuaikan kontr dari kampanye dilembaga pendidikan. Banyak sekali guru yang menolak putusan ini. Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru memilih kontra karena dikhawatirkan akan menimbulkan konflik. Jika dikatakan kampanye ini dilakuian di SMA atau perguruan tinggi maka dapat menjadi pengujian gagasan para calon. Tetapi apabila dilaksanakan pada pelajar yang tingkatanya belum memiliki kecakapan dan hak pilih maka perlu dicermati kembali, khawatir cenderung terjadi eksploitasi pada pelajar karena adanya relasi kekuasaan dan juga benturan kepentingan para guru yang memilikin prefensi kepolitikan.
Kampanye juga akan menganggu waktu pembelajaran jika diadakan di hari regular, dan dianjurkan dilakukan diluar hari kegiatan seperti Sabtu atau Minggu.
Para pelajar belum  butuh diberi pemahaman tentang kampanye melainkan pendidikan politik kewarganegaraan dan HAM. Perlu dipahami, kampanye dan pendidikam politik itu dua hal yang berbeda dan seringkali diartikan tumpang tindih. Kampanye hanya terjadi saat mendekati pemilu saja untuk menghimpun suara masyarakat, sedangkan pendidikan politik diartikan sebagai kesadaran politik, dan mengetahui peran dan fungsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kampanye diperbolehkan sekali di lembaga pendidikan, asal dengan izin para pengelola tempat tersebut dan tidak menyalahgunakan aturan serta tidak menggunakan atribut kampanye. Dalam pengambilan putusan harus banyak sekali aspek yang diperhatikan, keselurah sebab dan akibat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H