Mohon tunggu...
Zahrah Fudoli
Zahrah Fudoli Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai

Hanya ingin menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kota Kelahiran

26 Desember 2011   08:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:44 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kota itu letaknya dimana?”. Begitu tanya orang-orang setiap melihat nama kota kelahiranku. Pertama aku hanya tersenyum mendengarnya, lalu kemudian kusebutkan nama sebuah negara. Dan yang bertanya pasti akan tersenyum surprised :).

Kadang aku menemui kesulitan yang berhubungan dengan kota kelahiran. Karena zaman sekarang adalah era digital, maka sebuah kota kelahiran pun perlu dibuat sebuah kode. Ketika ingin menuliskan kode kota kelahiranku, kode itu tidak ada dalam daftar kota-kota di Indonesia. Alhasil, aku pun menuliskan kode kota LAIN-LAIN. Wah, sebuah kota kelahiran tanpa identitas jadinya.

Kalau aku bisa memilih, aku ingin dilahirkan di negaraku tercinta Indonesia. Jadi orang tidak memandangku seperti seorang yang beda. Tapi apa daya, orang tua tinggal di sana, belajar di sana, kerja di sana, berumah tangga di sana, sampai melahirkan pun di sana. Sampai dianggap sebagai negara kedua karena lamanya. Aku pun cukup lumayan lama menghirup udara negara itu, sampai habis masaku menggunakan seragam merah putih. Ya, di sana kami warga negara Indonesia disediakan sebuah sekolah yang seragamnya menggunakan merah putih, biru putih, dan abu-abu putih. Sehingga ketika kami kembali, bisa langsung beradaptasi dengan sekolah di sini. Ijazah sekolah pun bisa langsung diakui dan tidak perlu melalui birokrasi penyetaraan yang berbelit-belit, lazimnya birokrasi di negara Indonesiaku tercinta ini.

Terlalu banyak kenangan di negara kota kelahiranku yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Cuaca 4 musimnya; musim panas, gugur, dingin dan semi. Kalau musim dingin datang, kami pun harus rela memakai baju berlapis-lapis yang lumayan tebalnya. Mandi pun tidak bisa sebebas di Indonesia jika tidak ingin beku kedinginan. Karena dinginnya sehingga kami tidak pernah berkeringat, jadi mandi pun menjadi suatu ketidakharusan. Urusan wangi pun bukan monopoli sabun mandi lagi, memakai parfum sudah cukup. Jorok? Menurut kami tidak.

Makanannya pun tidak bisa aku lupakan juga. Roti kebab, roti gandum, tokmiyah, tokmiyah bil beid, tokmiyah full, susu, zabadi, kurma yang semuanya sangat menggugah seleraku dulu daripada nasi pecel, pepes dan masakan Indonesia lainnya yang dulu sangat aneh di lidahku sehingga urusan makanan pun aku, badanku dan lidahku harus beradaptasi ketika kembali ke negaraku ini. Aku sampai menderita penyakit tipus karena pencernaanku kaget dengan masakan Indonesia yang pedas. Dan pernah menderita alergi kulit. Tapi itupun hanya berlangsung kurang lebih setahun saja, setelah itu aku pun terbiasa.

Piramid, Spinx, Luxor, Bendungan Aswan yang jadi tempat wisata. Sungai nil yang tiap hari kami lewati. Al-Azhar, tempat belajar orang tuaku. Garden City, tempat tinggalku. Tetangga-tetanggaku yang berbahasa arab, yang kadang kalau aku tidak mengerti bahasa mereka, terpaksa pakai bahasa tarzan. Rambut mereka yang keriting, sampai mereka mengganggap rambut lurusku sebagai sebuah keajaiban dunia. Mereka mengira aku menggunakan rambut palsu, hingga rambutku pun ditarik-tarik untuk mengetahui keabsahannya. Sampai diteliti seteliti-telitinya. Akhirnya aku pun pakai topi agar tidak menarik perhatian lagi.

Sebenarnya hanya sepertiga umurku kuhabiskan di kota kelahiran. Dan kini aku pun sudah lupa akan bahasanya. Mungkin kalau mendengarnya aku bisa mengerti sedikit. Itu juga tidak semua. Teman-teman yang tinggal di sana juga sudah banyak yang kembali. Setelah bertahun-tahun berpisah akhirnya ketemu lagi walaupun di dunia maya, facebook. Melihat kembali foto sekolahku dulu, guru-guru, teman-teman classmate, adik kelas, kakak kelas, tante, om, kedutaan yang menjadi tempat main selagi menunggu bapak kerja.

Ada kejadian lucu. Suatu hari aku membawa kendaraan dan melewati suatu belokan, yang ternyata di situ ada sebuah rambu larangan. Kulewati saja karena tidak tahu, dan tiba-tiba saja polisi sudah ada di depanku. Oh, malang nasibku hari ini, pikirku. Kuserahkan STNK dan SIM sesuai permintaan. STNK dikembalikan. Tapi begitu melihat SIM-ku, pak polisi bertanya, “Kelahiran C____ ya?”. Aku pun hanya menganggukkan kepala. Pak polisi bertanya lagi, “Pasti bingung ya baru datang dari luar negri?”. Aku pun semakin kuat menganggukkan kepala sambil memasang wajah memelas. “Ya sudah, kali ini saya maafkan, jangan diulang lagi ya?”. Oh, SIM-ku langsung dikasihkan tanpa tilang. Dan anehnya itu berulang sampai dua kali di tempat yang berbeda dengan hasil yang sama, tanpa tilang. Tapi, bukan berarti kemudian aku menggampangkan peraturan lalu lintas. Memangnya SIM berubah jadi surat sakti? Hohoho….

Tapi jika disuruh memilih tinggal di negara kota kelahiran atau negara asal, aku memilih tinggal di sini, Indonesia. Rumput tetangga memang kelihatan lebih hijau, tapi masih lebih enak rumput di tanah sendiri. Sejauh-jauh kamu pergi, melanglang buana pasti akan kembali ke tempat asal. Walaupun juga masih ada keinginan untuk kembali ke sana, sekedar untuk bernostalgia.

*****

Biladi biladi biladi, laki hubbi wa fuadi

Biladi biladi biladi, laki hubbi wa fuadi

Misri ya ummal bilad, anti ghayati wal murad

Wa ‘ala kullil ‘ibad, linilik min ayadi

******

Surabaya, 26 Desember 2011

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun