Mohon tunggu...
Zahra Fildza Rahmasari
Zahra Fildza Rahmasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Universitas Sebelas Maret

explore anything

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Ini Hanya Perasaan Malu Ataukah Gangguan Kecemasan Sosial?

14 Desember 2022   13:16 Diperbarui: 14 Desember 2022   13:33 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika kita memperlakukan setiap orang yang "pemalu" sebagai orang yang memiliki kelainan, maka hal tersebut dapat menimbulkan stereotip. Namun, apabila kita kurang mendiagnosis gangguan kecemasan sosial, maka orang dengan gejala tersebut tidak akan menerima perawatan yang diperlukan. Meskipun gangguan kecemasan sosial dan rasa malu memiliki kesamaan, ada perbedaan yang mencolok di antara keduanya. 

Gangguan kecemasan sosial diklasifikasikan sebagai sebuah ketakutan, rasa malu, atau penghinaan yang signifikan di dalam situasi yang melibatkan kerja sosial, di mana individu yang mengalami gangguan ini sering menghindari situasi tersebut atau tetap menanggungnya dengan tingkat penderitaan yang tinggi (Dalrymple, K.L. & Zimmerman, M., 2013). Kecemasan dianggap wajar dan bahkan kita diharapkan merasa cemas saat sedang berada pada situasi yang mengancam keselamatan.

Namun, kecemasan menjadi maladaptif ketika kecemasan dianggap tidak tepat dengan situasi yang dihadapi, di mana tidak ada ancaman atau bahaya nyata atau berlebihan secara signifikan mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi lainnya. Seseorang yang mengalami kecemasan sosial pada dasarnya tidak percaya diri untuk berinteraksi dengan orang lain, merasa bahwa mereka akan melakukan sesuatu untuk mempermalukan diri mereka sendiri, atau orang lain akan menghakimi mereka terlalu keras dan kritis (Gui dalam Prawoto, 2010). 

Kecemasan sosial dapat meningkat menjadi gangguan bila: pertama, tingkat kecemasan yang dialami semakin irasional dan mengganggu efektivitas kegiatan sehari-hari; kedua, justifikasi terhadap kecemasan berlebihan, misalnya individu merasakan tingkat kecemasan tinggi tanpa stimulus pemicu; dan ketiga, konsekuensi dari kecemasan tersebut membawa dampak negatif menyeluruh dalam hidup individu (Swasti & Martani, 2013). Situasi ini sering menyebabkan individu dengan SAD merasakan kecemasan yang berlangsung selama > 6 bulan. 

Jika SAD adalah bentuk ekstrim dari rasa malu, maka semua orang yang didiagnosis SAD juga akan dicirikan sebagai pemalu. Namun, menilik perbedaan kuantitatif antara SAD dan rasa malu, hanya ada sekitar setengah dari mereka yang didiagnosis dengan gangguan kecemasan sosial melapor bahwa mereka adalah orang yang pemalu (Dalrymple, K.L. & Zimmerman, M., 2013). Di satu sisi, kurang dari 25% orang pemalu memenuhi kriteria gangguan kecemasan sosial. 

Artinya, banyak orang pemalu yang tidak memiliki rasa takut, cemas, dan tertekan karenanya. Studi yang membandingkan SAD, pemalu tanpa SAD, dan tidak pemalu, telah menunjukkan bahwa kelompok pemalu tanpa SAD lebih mirip dengan kelompok yang tidak pemalu daripada SAD. Dengan adanya bukti tersebut, para ahli telah menyimpulkan bahwa rasa malu dan diagnosis SAD tumpang tindih tetapi tetap merupakan konstruksi yang berbeda.

Dengan banyaknya kesamaan dalam kecemasan, rasa malu, dan gejala lain dalam situasi sosial, cara terbaik untuk menentukan apakah rasa malu melewati batas menjadi masalah yang signifikan secara klinis adalah dengan menilai tingkat gangguan yang ditimbulkan, intensitas ketakutan, dan tingkat avoidance (Cuncic, A., 2020). Kecemasan yang lebih parah digambarkan dengan kesusahan pada individu tersebut. Penting untuk mempertimbangkan konteks lingkungan dan budaya dari kesusahan dan gangguan pasien. 

Rentang normatif rasa malu tergantung pada tahap perkembangan (Dalrymple, K.L. & Zimmerman, M., 2013). Di fase anak-anak, tingkat kemunculan rasa malu yang lebih tinggi dapat dianggap lebih normatif. Pada tahap perkembangan ini juga banyak muncul kecemasan akan perpisahan. Di kalangan remaja, tingkat rasa malu yang lebih tinggi dapat dianggap normatif terutama selama masa remaja awal, di mana hubungan sosial menjadi lebih penting, dan selama masa transisi yaitu memasuki sekolah menengah. 

Pada masa dewasa, tingkat rasa malu atau kecemasan sosial yang lebih tinggi mungkin terjadi selama ada perubahan besar dalam hidup, misalnya mulai berkencan lagi setelah kehilangan pernikahan yang lama atau hubungan romantis.

Kita harus berhati-hati agar tidak salah menafsirkan trait kepribadian seperti rasa malu atau membuat pemalu berpikir bahwa dirinya menderita gangguan psikologis dan memerlukan penanganan. Individu yang menunjukkan rasa malu yang normal tidak memerlukan perawatan medis dan seringkali tidak menginginkannya. Namun, beberapa orang mungkin tertarik untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam interaksi sosial. Pendekatan swadaya atau psikoterapi singkat seperti terapi perilaku-kognitif (CBT) mungkin bisa menjadi langkah pertama untuk dilakukan. 

Dalam sistem DSM, diagnosis gangguan kecemasan harus didasarkan pada bukti terhambatnya fungsi seseorang secara signifikan atau distres personal yang teramati. Terkadang, apa yang dibutuhkan pemalu adalah latihan berbicara di depan publik, bukan psikoterapi atau pengobatan dan sejenisnya (Cain, 2011).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun