Sejak fobia sosial diperkenalkan sebagai gangguan kejiwaan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder III pada tahun 1980 (DSM-III; APA, 1980), para peneliti dan dokter telah berteori tentang hubungan antara fobia sosial dan rasa malu. Fobia sosial kemudian diberi nama alternatif gangguan kecemasan sosial yang telah terdefinisi dengan baik dalam DSM-IV (APA, 1994).
Sedangkan rasa malu adalah istilah awam yang kurang terdefinisi dengan baik (Harris, 1984). Ciri-ciri yang menentukan keduanya sangat mirip, seperti gejala somatik (misalnya, gemetar, berkeringat, tersipu), gejala kognitif (misalnya, takut akan evaluasi negatif), dan gejala perilaku (misalnya, menghindari situasi sosial). Dengan  hubungan keduanya yang belum jelas, terdapat kemungkinan-kemungkinan timbulnya salah tafsir.Â
Setiap dari kita pasti pernah merasakan rasa malu atau shyness. Shyness atau rasa malu dapat terjadi ketika seseorang tidak melakukan suatu perilaku yang menjadi kepentingan terbaik mereka sendiri karena merasa takut bahwa hasilnya akan negatif (Dingman & Bloom, 2012). Mereka takut terhadap evaluasi negatif dan terlihat seperti orang bodoh di depan orang lain. Sejalan dengan pendapat Carducci & Goland (2009) yang menyatakan bahwa rasa malu adalah adanya ketidaknyamanan dan penghambatan perilaku yang terjadi jika terdapat kehadiran orang lain di sekitarnya.Â
Tidak adanya dukungan sosial juga membuat seorang pemalu sulit mencapai well-being dan penyesuaian diri selama masa transisi (Mounts, et al., 2006). Bentuk shyness biasanya ditunjukkan dengan diam, jantung berdetak cepat, muka memerah, gagap, berkeringat, gemetaran, dan cemas. Dimana bentuk yang lebih kuat dari shyness adalah social anxiety disorder (SAD).Â
Rasa malu adalah kondisi yang dipandang banyak orang sebagai ciri kepribadian sosial (trait umum) yang tidak boleh disamakan dengan fobia sosial (Carducci, 1999; Stein, 1996). Didukung dengan pendapat BA (2010), shyness bukan penyakit sosial seperti fobia sosial atau gangguan kecemasan sosial, karena shyness tidak masuk dalam DSM IV. Meskipun rasa malu dan gangguan kecemasan sosial berkaitan, penelitian yang dilakukan oleh Chavira, dkk. (2002), dan Beidel, dkk. (2003) menunjukkan bahwa kebanyakan orang pemalu tidak memenuhi kriteria gangguan kecemasan sosial.Â
Orang yang memiliki rasa malu berpikir bahwa dirinya lebih lemah dibandingkan dengan orang lain yang memiliki power atau kuat. Orang pemalu juga akan menunjukkan perilaku yang tampak tidak nyaman jika berinteraksi dengan orang lain, seperti berbicara sangat pelan, melakukan kesalahan dalam berbicara (terlalu cepat atau tidak dapat berkata-kata), enggan untuk mengungkapkan pendapat saat berada di lingkungan sosial (Crozier dalam Dwi Nurhayati Adhani, 2013), dan lain sebagainya. Dapat terlihat bahwa shyness hanyalah fase normal dari kepribadian dan bukan suatu gangguan mental.
Peneliti rasa malu terkemuka dari Indiana University, Bernardo Carducci, menyampaikan bahwa rasa malu bukanlah penyakit, gangguan psikiatrik,cela karakter, atau cela kepribadian yang perlu 'disembuhkan' (dikutip dalam Nevid & Rathus, 2013). Banyak orang terkenal dalam sejarah yang ternyata pemalu, seperti Charles Darwin, Albert Einstein, dan penulis Harry Potter, J.K. Rowling (Cain, 2011).Â
Menurut Carducci, pemalu yang sukses tidaklah mengubah jati diri mereka, mereka tetap menerima diri mereka dan belajar cara berinteraksi dengan orang lain, seperti bekerja pada organisasi relawan, mempelajari cara membuka percakapan, dan mengembangkan jaringan sosial mereka.
Tidak ada yang salah dengan menjadi pemalu. Individu pemalu yang sukses mengubah cara berpikir dan berperilaku mereka dengan lebih memikirkan orang lain serta lebih banyak melakukan tindakan yang lebih berfokus pada orang lain daripada berfokus pada diri sendiri (dikutip dalam Nevid & Rathus, 2013). Banyak dari kita yang pemalu, tetapi kapan rasa malu dikatakan sebagai rasa malu biasa dan kapan rasa malu dikatakan sebagai gangguan kecemasan sosial (SAD)?
Tidak benar bahwa semua orang dengan gangguan kecemasan sosial itu pemalu. Kesalahan tafsir yang terjadi antara rasa malu dengan gangguan kecemasan sosial berasal dari masalah kelebihan atau kekurangan diagnosis jumlah kecemasan sosial yang dirasakan.Â