Rambutnya legam diterbangkan angin. Kulit putih seputih susu ditelan air. Wajah bulat mata bersinar dibakar sinar mentari pagi. Inilah aku, gadis kota yang kini menyelami keindahan desa untuk mengunjungi kakeknya. Ditangannya ada setangkai mawar berduri lebat. "milik siapa?" batinku. Tak mungkin mawar seindah ini tidak punya pemilik. Ya mawar itu sangat menawan, berwarna merah dengan degradasi warna putih yang pas dengan bentuk kelopaknya. Jangan kira itu hanya sebatang dengan akar menggantung bebas. Mawar itu tumbuh dalam guci kecil bermotif naga merah dengan warna dasar biru. "aku harus cari pemiliknya, tapi bagaimana?".
Kakiku terus melangkah menyusuri jalan setapak, berharap menemukan petunjuk. Setiap orang lewat akan aku tanyai tentang mawar itu. Namun aku malah menemukan mawar yang sama dengan tulisan kecil di tangkainya. "hai aku ingin berkenalan denganmu. Lewat mawar ini aku ingin bercerita bahwa aku sangat suka melihatmu bermain di ladang desa. Kamu dengan pipi gembulmu, dengan tingkah gemasmu, dan dengan tawa lebarmu. Ah sayangnya aku hanya bisa melihatmu dari jauh. Mari berkenalan ? jika kamu mau aku akan memberimu mawar yang lebih indah. (Selo, 1945)". "sudah sangat lama" gumamku.
Aku semakin penasaran, mawar ini sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu. Aku merasakan bulu kudukku berdiri semua. Ku tampar pipiku "plak" terasa sakit. Ini bukan mimpi. Takut ? pasti, tapi rasa penasaranku sudah diujung tanduk. Aku terus berjalan sekalian menghirup udara pagi. Namun, tak terasa aku sudah jauh dari jalan setapak, matahari mulai meninggi. Aku menemukan mataku silau dengan sesuatu yang ada ditengah rumput. " Waw, mawar yang lebih indah". Aku melangkahkan kaki kesana. Dan apa yang kudapati? Surat kecil dengan pita merah muda.
"Hai juga, maaf butuh waktu cukup lama untuk membalas pesan kecilmu lewat mawar itu, mari kita berkenalan. Aku adalah gadis dari desa seberang. Aku sebenarnya tidak tinggal disini, tapi aku suka disini, suasananya lebih indah dan senja lebih terasa romantis dan menyenangkan. Aku sangat suka sastra, kuharap kamu juga begitu. butuh waktu singkat untuk menulis surat, namun butuh waktu sangat lama untuk menumbuhkan kepingan kepercayaan dan persahabatan tentunya. Aku...(sapar, 1847)".
Aku seperti menemukan kisah-kisah PDKT orang zaman dulu. Berkorespondensi. Bedanya ini dengan mawar, sementara dulu dengan merpati. Lalu bagaimana bunga ini bisa mengantarkan surat? Kaki saja tidak punya. Ah aku mulai gila. Aku tidak mau kehilangan kegilaan ini begitu saja. Aku terus berjalan mengikuti arah matahari. Dengan 2 mawar indah ditanganku, aku jadi semakin mempunyai gairah hidup yang tak bisa aku deskripsikan. Indah, menantang, dan ya menegangkan. Tiba di padang ilalang, Gotcha!!.
Mawar lagi yang lebih indah. Tanpa banyak kata langsung kuraih dan kubuka suratnya. "Hai, gadis seberang, aku senang kau membalas pesanku. Aku sangat menyukai sastra, kapan-kapan pergilah ke alun-alun kota. Setiap suroan, diadakan pesta besar. Ada banyak penjual makanan  dan minuman, permainan, dan hal yang paling kamu suka, kumpulan penyair dari seantero kadipaten menunjukkan aksinya, nanti kita bisa kesana bersama-sama. (Ruwah, 1849)".
Perasaan senang mulai menggelayuti benak ku. Seakan aku ikut merasakan euforia PDKT remaja kuno yang unik ini. Dengan langkah riang dan ringan aku terus berjalan dan berjalan hingga mataku menangkap batu besar ditengah telaga. Tiba-tiba saja aku haus melihat pemandangan air itu. Duduk diatas batu besar ditengah telaga sangat menyejukkan. Disamping batu besar itu aku menemukan mawar lagi, dan tentunya surat lagi.
"hai, wah kedengarannya menarik, melihat kumpulan penyair mendendangkan syair-syairnya yang tentunya indah. Aku sangat tidak sabar menunggu suro agar bisa bersamamu melihat kemeriahan itu. Mari kita bertemu ditempat ini saat suroan tahun depan (rejeb, 1950)".Â
"waaah mereka mau ketemuan, jadi penasaran". Aku membaca surat itu dengan senyum senyum sendiri. Apa jadinya jika kejadian ini juga terjadi di zaman sekarang? Pasti diketawakan banyak orang dong. Ah.. serunya, aku jadi lebih semangat untuk menemukan surat mawar berikutnya. Aku berjalan semakin jauh dari desa tempat kakekku tinggal. Daerah ini semakin gelap dan menyeramkan. Banyak pohon besar dan lebat, serta hewan-hewan malam bergelantungan. Namun disamping gelantungan itu ada mawar yang sama. Namun lebih layu dan menyedihkan. Menyingkirkan rasa takut pada hewan itu, aku pun meraihnya. Dan aku menemukan dua surat menyertainya.
"Hai gadis seberang, aku senang kamu menyambut suratku. Aku akan datang suroan nanti (poso, 1950)".