Mohon tunggu...
Zahrotul Husna
Zahrotul Husna Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Daun-daun Kering

7 November 2017   21:58 Diperbarui: 7 November 2017   22:32 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sudah beberapa tahun Aninda terserang HIV-AIDS. Setiap hari obat sudah terjejali untuk meredam sakit yang kuderita bahkan gejala-gejala seperti ruamnya kulit, kuku berjamur, mati rasanya tubuhku, rasa tidak enak pada perutku, berat badanku yang menurun telah menelaahku perlahan, Bu," rasanya keluhan itu terus menggeliat dalam pembicaraanku pada Ibu Hasna.
            Beberapa jam setelah Ibu Hasna kembali ke rumahnya.
            Aku sempat berpikir keras mengakhiri hidupku. Sendu sering kali menjajaki kehidupanku. Obat menggiurkanku untuk tak menghentikannya. Gejala yang sering kali muncul dalam sembilan tahun terakhir ini muncul dengan berbagai efek yang kurasakan. Aku berambisi untuk mengakhiri hidupku dengan cara gantung diri, menggoreskan nadi hingga putus, sengaja menabrakkan diri, menelan obat-obat yang tak sesuai dosis, atau bahkan cara lainnya yang mematikanku. Tetapi setelah Ibu Hasna menyirnakan rasa masygulku. Aku bertolak belakang. Sugesti yang selama ini diberikan memerakkan hatiku. Jati diri yang mulanya lunglai. Kujadikan kobaran tanganku merasuk menjadi wanita penuh juang. Aku ingat akan beberapa tabiat ibu dahulu sehingga aku menjadi seperti ini. Atau akan menghentikannya begitu saja? Ku buang jauh-jauh niatku itu.
            Suatu hari di keheningan malam ku tutup selak gubukku. Ku duduk di dekat jendela dan menatap rindu ibu pada kursi paviliun itu. Raga ingin cipta suatu karya. Tetapi kesakitan itu selalu saja hadir di kala niat baik merajaiku. Aku bersaksi pada malam itu. Hingga keesokan harinya akan ku buat suatu hal istimewa sebagai kado terindah untuk ibu. Aku berusaha tak acuh akan hal yang menimpaku.
            Saat fajar tiba. Suasana masih tetap sama. Namun semangatku termaktub besar dibandingkan sebelumnya. Tentu saja ada hal yang menjadi tuntutan terbaruku dalam kehidupan. Aku berpikir untuk membuat sesuatu dari kering kerontangnya dedaunan saksi itu. Kujadikan humus-humus itu menjadi sebuah pupuk yang menjadi pendukung bunga-bunga yang kutanam sejak fajar ini. Barangkali saja gubukku menjadi taman bunga. Bunga yang kutanam tak jauh dari bunga-bunga yang seringkali dibeli di pasar sekitar. Setiap hari kuhujam waktu 'tuk bersikeras menanam sesuatu sebelum waktunya tiba, kematian. Anehnya, taman ini terkesan biasa saja. Tetapi banyak sekali tetangga yang dahulu mencemoohku sebagai anak haram justru mengunjungi taman ini. Kata mereka, taman ini sangat memesona sekali. Ada suatu hal yang mencetarkan relung jiwa para pengamat ketika penanamnya adalah sang penderita HIV-AIDS yang tak pernah gubris akan vonis kehidupan yang berkurang hari demi hari.

            "Untuk apa meratapi nasib sebab penyakit ini. Toh aku telah menjadi orang baru," pikirku dalam batin.

            Beberapa hari kemudian. Saat itu aku tak mengunjungi taman paviliun. Badanku terasa sakit. Untuk beranjak dari tempat tidur pun tak bisa. Bahkan berbicara pun terasa kaku. Ku pandangi sekitar taman paviliun itu. Rupanya banyak pengunjung ingin membeli bunga-bunga yang ku jual di taman paviliun ini. Satu persatu meneriakiku, "Aninda!" berulang kali kudengar pekik itu. Berulang kali aku berusaha menjawab panggilan itu. Apalah daya ketika tubuh tak sanggup lagi.

            Barang kali saja kupu-kupu kebaikan datang.  Barang kali saja hanya kebetulan sakit. Barang kali saja kelelahan. Barang kali saja malaikat maut datang.

"Braaakk!" kudengar pintu terdobrak oleh seseorang. Kudengar keramaian menghampiriku. Kudengar jejak kaki yang mendekatiku perlahan. Kudengar kerumunan orang mengatakanku telah tiada. Kudengar  banyak percakapan di antara mereka hingga aku tak mendengarnya lagi. Hingga suara mereka tak terjamah lagi. Aku berusaha mencerna kembali tapi bukan mereka lagi yang mendatangiku. Mataku kaku. Bahkan seperti gadis buta. Tetapi sesok lelaki berjubah putih dengan cahaya diikuti ibuku dengan lelaki berjubah hitam dari  belakang. Aku tak mengetahui keberadaanku. Tenyata aku telah tiada. Rupanya HIV AIDS yang kuderita telah merenggut nyawaku pada cahaya taman paviliun itu. Sehingga taman paviliun itu sudah tak bernyawa lagi. Ya, aku telah tiada. Bukan penghuni taman paviliun lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun