Mohon tunggu...
Zahrotul Husna
Zahrotul Husna Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Daun-daun Kering

7 November 2017   21:58 Diperbarui: 7 November 2017   22:32 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sendu dan senyap menjamah tubuhku tak seperti sedia kala. Serdadu angin tiba-tiba saja mengempas setiap kali dedaunan itu gugur dari batang liuknya. Kering kerontang dedaunan terpecah menjadi serpih belulang. Hujan turun deras menampar-nampar atap gedung tanpa ampun. Masih terdengar pekik duka dari kursi paviliun ini. Katanya, ia adalah saksi bisu. Beberapa hari setelah perbincangan dengan ibu tak jumpa lagi, seringkali aku mengunjungi taman gubukku ini. Ibu telah meninggal dunia karena terjangkit penyakit mematikan. Virus-virus itu menelan dengan lembut sistem imun tubuh ibuku. Apalagi yang hendak disalahkan jika tak salah manusiawi sendiri. Barangkali saja ada yang salah dengan tabiatnya.

"Tetap saja anak haram dari ibu haram," cemoohan itu datang bak angin lantas hilang. Aku geram tatkala terdengar segelintir cemoohan dari kerabat dekatku menyempatkan diri di tengah rintik hujan menegur sapa keburukan. Mataku terbelalak tepat pada gadis itu. Dengan jantung yang terasa seperti mencelus langkahku tersaruk-saruk mengekor kerabatku itu. Aku tak ingin tahu. Ludah yang semula kutegukkan ingin terempas seperti muntahan kebencian. Mengekor dengan cepat menyelingkit hingga kerumunan para insan menghalangi pandanganku pada gadis itu. Kuurungkan niatku. Lantas bergegas kembali ke rumah menerjang derasnya hujan begitu saja sebab jam sekolahku telah tiba.  
            "Kalau ibunya terjangkit, jelas saja anaknya juga ya, Pak? Betulkan, Nin? Pertanyaan itu mengerjapku perlahan. Tak disangka pekik tawaan menggema ruang kelas ini. Kelas matematika menyapa siangku. Tak hanya kali ini saja. Seringkali atau bahkan setiap jejak langkahku, cemoohan itu tersirat bahkan tersurat dalam perkataan mereka. Mencercaku seperti keadaan tersalah adalah aku sepenuhnya. Padahal aku tak pernah berbuat atau bahkan tega mencelakakan diriku sendiri. Meski raga adalah sakit yang dahulu tak menerpa hingga sekarang menjumpa.
            Seperti manusia penuh dosa. Padahal kesalahan tak bersumber dari diriku, tetapi ibu sendiri. Menyalahgunakan kewibawaan hingga lupa diri. Ibu seringkali bergonta-ganti pasangan semenjak kematian ayah ketika usiaku beranjak empat tahun. Aku adalah anak tunggal, ibu sering kali pergi senja pulang fajar. Kata para tetangga, ibuku murahan. Pelacur sebutnya. Rumahku bak hana. Aku seperti hidup di hutan rimba. Perhatian pun tak kunjung ada. Aku ingin hibat dari ibuku.

Sebab tabiatnya, ia terjangkit HIV-AIDShingga menurun padaku ketika usia sembilan tahun. Jarum suntik yang tak pernah lepas darinya, dengan tega disuntikkan padaku akibat guncangan jiwa yang menderanya. Mungkin saja ia takjub dengan penyakit yang divonisnya. Aku hanya diam saat itu.  Aku yakin seorang ibu tak setega itu. Barangkali saja ibu ingin anaknya pun merasakan. Barangkali saja ibu terhampar kebingungan hingga lupa diri. Saat ia mengetahui penyakit yang dideritanya. Ia menghabiskan waktunya di gubuk kecil ini. Sehingga Ibu melampiaskannya padaku tatkala mengetahui penyakit yang divonisnya. Ternyata, beberapa tahun kemudian ibu meninggalkanku sebatang kara hingga aku lepas dari harapan semula.

            Beberapa hari kemudian setelah kematian ibu. Duka tak surut dari benakku lantas hasrat bersekolah pun sirna. Biaya entah  hinggap di mana. Sepeser pun tak ada. Cemoohan dalam keseharian menghasutku dari jiwa kebaikan. Aku bukanlah anak haram. Berulang kali aku membenarkan kata mereka. Hunus pedang laksana terbentang sepanjang jalan. Hingga kata haram itu sering kali menusuk hatiku perlahan lantas aku menangis tersedu-sedu atau bahkan menyembunyikannya dari keramaian. Terkadang biasa saja atau bahkan kemarahanku terluap bak orang gila. Manusia seperti mereka penuh dengki mengegah bahunya meludahku penuh bahari, katanya.

Hari ini awan cerah, tetapi tak secerah saat itu.

"Aninda, ini ada surat dari Waka Kesiswaan," papar Ibu Hasna wali kelasku. Ia mengunjungi istanaku. Aku menyebutnya istana walaupun seperti gubuk. Sudah tiga bulan aku tak sekolah. Awalnya dugaan telah menerka-nerka saat Ibu Hasna pertama kali mengetuk pintu gubukku. Aku pikir sekolah akan mengeluarkanku. Dugaanku benar. Ku buka perlahan amplop  coklat itu hingga selembar kertas putih bertuliskan "DropOut" terpampang jelas. Dada kuelus. Hasrat tabah tetap saja tak mampu. Sekolah juga tak mungkin menerima murid yang terjangkit HIV-AIDS, walau bukan dari ulahnya  sendiri.

Kemalasanku tak kunjung usai menerpa tubuh dari kediamanku di gubuk kecil dan taman paviliun. Aku selalu rindu  daun-daun kering yang menyaksikan kematian ibuku di taman ini. Padahal kami sedang duduk berdua berbincang tentang daun kering yang patah digerogoti musim hingga gugur lantas menjadi humus. Ibu saat itu baik-baik saja. Namun imunnya terserang dengan tega. Sehingga kematian menerpa setelah sekian lama ibu merasakan sakit dan merasakan obat-obatan yang setiap hari dijejeli ibu secara paksa.
            Daun-daun kering di tamanku ini selalu saja gugur setiap detiknya. Ibu sering kali mengelus rambutku di taman ini. Terkadang daun kering itu jatuh tepat di rambutku hingga ibu segera menyingkirkannya. Ibu sering kali mengatakan daun layu pun tanpa hujan dapat terpatah dengan tega. Gelagah pun ikut mengering ketika kematian menimpa ibu.

"Aninda, hidup tak harus semalas ini," Ibu Hasna menegaskanku. Ia adalah wanita yang sabar menghadapi murid sepertiku yang kesekian harinya menghabiskan waktu dengan lamunan membicarakan daun-daun kering saksi bisu kematian ibu akibat penyakit yang dideritanya.

"Hidup ibarat air terjun dengan kawasannya penuh bebatuan. Tuhan akan menguji seberapa kuat engkau menyingkirkannya," Ibu Hasna menyugestikanku. Ibu Hasna lantas berbicara tentang para penderita HIV-AIDS selain diriku. Banyak dari mereka mengakhiri dengan kematian sengaja dan sebagian lainnya meninggalkan suatu kebanggaan.

"Apa kamu akan menjadi salah satu dari keduanya, Nak?' papar Ibu Hasna. Penderita sepertiku seharusnya memanfaatkan waktu saat kematian belum menjumpai. Hanya gejala-gejalanya saja. Tetapi itu pun menyakitkan. Belum terhitung tekanan batinnya serta cercaan yang berulang kali datang. Ada air mata, ada sedu sedan. Kesenduan itu terlalu pilu berantai. Akan kerasnya kaki-kaki kehidupan. Batinku pilu hingga aku lupa akan garis waktu.
            "Aku hanya rindu ibu, walaupun kesalahannya menjadikanku pilu. Tetapi aku tak rindu tabiat ibu, ketika penyakit itu menjadikanku berseru," aku mengeluh padanya. Anggap saja ia adalah pengganti ibu ketika segala gundah kucurahkan padanya. Hanya ia wanita terdekat yang kumiliki sekarang.

Ibu Hasna menjawab, "Tetapi, Nak. Situasi ini jangan menggelayutkanmu pada suramnya hidup. Coba berpikir lagi ketika kamu menyisakan suatu kebanggaan tersendiri sebelum kematianmu datang,"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun