Semerbak senja. Mungkin ada yang lebih tahu. Ada yang lebih tahu apa makna ini. Atau bahkan tergiur begitu saja. Tenang saja, ini hanya sebatas semerbak. Suatu hal yang jarang diketahui orang. Cukup kita-kita saja yang merasakannya, ya! Jangan patah untuk mengartikan semerbak ini. Seutas kata. Tak sebatas itu. Lebih luas lagi. Seluas samudera yang tak bertuan.
Aku lebih suka dengan kopi di senja ini. Kenapa? Kopi ini lebih hangat daripada kehangatan seorang dia. Bumbung asap kopi itu. Aku lebih suka meneguknya dengan rasa pahit daripada harus bermanis-manis ria. Aku suka pahit. Pahit bukan manis lagi, ya!
Aku lebih suka dengan bunga. Kenapa? Bunga ini lebih menawan daripada syahdunya seorang dia. Keelokan bunga itu. Aku lebih suka memandanginya dengan rasa cintaku daripada harus membenci ria. Aku suka bunga. Bunga tapi bukan bunga raflessia, ya!
Kupikir ada rasa hebat tentang senja. Empat lima enam hingga ku tak mampu menghitungnya lagi. Siapa lagi jika bukan dia. Dia yang tebersit dalam benakku hingga senja lupa akan semerbaknya.
Tolonglah, jangan datang!
Bukan waktunya... cukuplah datang untuk sekilas. Kemudian pergilah.
Jangan datang, karena aku belum siap menjadi kehadiran.
Aku hanya siap untuk menunggu, bukan mencari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H