Â
"Apakah cinta hanya milik mereka yang se-kota? Se-provinsi atau se-daerah saja?" Vee melempar sembarang tas kerjanya ke lantai. Gadis bermata sipit itu, bahkan tak mempedulikan kondisi pakaian yang sudah separuh basah. Bahkan kerudung ungu yang ia kenakan sudah kuyup oleh air hujan senja tadi.Â
Vee membuang badan ke atas ranjang. Tengkurap. Menenggelamkan wajah pada bantal. Mulai menangis.Â
Rintik-rintik hujan yang jatuh berisik di atap rumah, seakan menjadi melodi tersendiri yang mewakili segala perasaan Vee kala itu. Ngilu. Perih, beradu satu.Â
Perlahan, gadis penyuka rintik hujan yang terurai di bawah temaram lampu tersebut mengangkat wajah, mendesah.Â
**
"Maafkan aku, Nduk. Bukan aku ndak sanggup menjalin hubungan jarak jauh. Tapi sungguh, semua ini karena—" Al mematah kalimat. Membuang pandangan ke arah rumput yang tumbuh liar di taman depan kantornya. Nampak sebuah beban yang menggunung di dalam hati pemuda berkacamata tersebut. Andai pertahanan itu patah, mungkin hujan-hujan serupa akan jatuh serta merta dari kedua sudut matanya.
Sejenak hening.
Harusnya jarak bukan lagi sebagai alasan bukan? Terlebih hubungan mereka yang sudah hampir satu tahun. Bukankah sedari awal mereka menjalin hubungan ialah atas dasar komitmen? Bahwa mereka dipertemukan memang pada jarak yang tidak bisa ditawar. Lalu kenapa baru sekarang, di saat Vee—gadis asli kota Jember, sudah me-lilla hitaa'la-kan niatnya untuk hubungan yang lebih serius?Â
Dari seberang, gadis berlesung pipi itu sudah tak mampu lagi menahan gemuruh angin yang menyesaki seisi dada. Hingga tak lama, rintik-rintik hujan mulai turun menderas di langit kedua matanya.Â
Pemuda berusia 26 tahun itu semakin tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia tahu, keputusan yang ia diambil akan menyakiti hati Vee, kekasih yang sangat ia sayangi. Bahkan rasa sakit yang sama pun juga ia rasakan. Perih. Ngilu.Â