Mohon tunggu...
Zahra Vee
Zahra Vee Mohon Tunggu... -

Nasib kita ialah akibat, tidak semata menunjuk pada takdir. Karena kita adalah sebab. Blog pribadi: bilikzahra.WordPress.com zahra2508.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Andai Jarak Bisa Dibeli

12 Maret 2016   11:01 Diperbarui: 12 Maret 2016   11:07 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

"Apakah cinta hanya milik mereka yang se-kota? Se-provinsi atau se-daerah saja?" Vee melempar sembarang tas kerjanya ke lantai. Gadis bermata sipit itu, bahkan tak mempedulikan kondisi pakaian yang sudah separuh basah. Bahkan kerudung ungu yang ia kenakan sudah kuyup oleh air hujan senja tadi. 

Vee membuang badan ke atas ranjang. Tengkurap. Menenggelamkan wajah pada bantal. Mulai menangis. 

Rintik-rintik hujan yang jatuh berisik di atap rumah, seakan menjadi melodi tersendiri yang mewakili segala perasaan Vee kala itu. Ngilu. Perih, beradu satu. 

Perlahan, gadis penyuka rintik hujan yang terurai di bawah temaram lampu tersebut mengangkat wajah, mendesah. 

**

"Maafkan aku, Nduk. Bukan aku ndak sanggup menjalin hubungan jarak jauh. Tapi sungguh, semua ini karena—" Al mematah kalimat. Membuang pandangan ke arah rumput yang tumbuh liar di taman depan kantornya. Nampak sebuah beban yang menggunung di dalam hati pemuda berkacamata tersebut. Andai pertahanan itu patah, mungkin hujan-hujan serupa akan jatuh serta merta dari kedua sudut matanya.

Sejenak hening.

Harusnya jarak bukan lagi sebagai alasan bukan? Terlebih hubungan mereka yang sudah hampir satu tahun. Bukankah sedari awal mereka menjalin hubungan ialah atas dasar komitmen? Bahwa mereka dipertemukan memang pada jarak yang tidak bisa ditawar. Lalu kenapa baru sekarang, di saat Vee—gadis asli kota Jember, sudah me-lilla hitaa'la-kan niatnya untuk hubungan yang lebih serius? 

Dari seberang, gadis berlesung pipi itu sudah tak mampu lagi menahan gemuruh angin yang menyesaki seisi dada. Hingga tak lama, rintik-rintik hujan mulai turun menderas di langit kedua matanya. 

Pemuda berusia 26 tahun itu semakin tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia tahu, keputusan yang ia diambil akan menyakiti hati Vee, kekasih yang sangat ia sayangi. Bahkan rasa sakit yang sama pun juga ia rasakan. Perih. Ngilu. 

"Kenapa baru sekarang, Mas?" ucap Vee di sela suara isak tangisnya. 

Al terdiam. Kembali hening.

"Nduk, adakalanya kita yang harus memahami keinginan orang tua. Bukan mereka yang selalu kita minta untuk mengerti kita. Bukankah sebuah kewajiban berbakti kepada orang tua? Ingat, Nduk. Kita berhutang surga kepada mereka. Toh, cinta tidak pernah mengajarkan kita untuk menjadi durhaka bukan?" ucap Al lembut. Pemuda kelahiran Jogja itu cukup paham perasaan hati gadisnya. Tidak mudah menerima sebuah kehilangan dari sesuatu yang teramat diperjuangkan. Namun mereka bisa apa? Bukankah restu Tuhan ada pada restu kedua orang tua? Apalah arti sebuah cinta, jika ianya menyakiti hati kedua surga yang membesarkan mereka? Cinta sejati ialah cinta yang mengajarkan ikhlas, meski dengan kehilangan sekalipun. 

**

Vee menyeka butiran lembut yang membasahi kedua sudut mata. Tersenyum datar. "Andai jarak bisa kubeli, mungkin cinta takkan sesakit ini."

 

#Vee, 12 Maret 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun