Menurut teori pengkondisian klasik Ivan Pavlov, pembelajaran terjadi ketika stimulus baru dikaitkan dengan stimulus yang pernah dialami sebelumnya, sehingga menyebabkan respons refleksif. Stimulus netral tidak menimbulkan respons pada awalnya, tetapi kemudian akan menimbulkan respons yang sama secara otomatis jika sering diasosiasikan dengan stimulus yang menimbulkan respons (seperti makanan yang menimbulkan air liur). Kami menyebutnya belajar melalui asosiasi.
Saya memiliki contoh yaitu ketakutan jarum suntik yang memiliki Teori Pengkondisian Klasik (Ivan Pavlov).
Seorang anak bisa saya ambil dari temen saya sendiri, awalnya tidak memiliki reaksi khusus terhadap jarum suntik, yang dianggap sebagai stimulus netral. Namun, setelah beberapa kali mengalami suntikan yang menyakitkan, temen saya tersebut mulai merasa takut setiap kali melihat jarum suntik. Lalu, pada awalnya, jarum suntik dianggap sebagai stimulus netral oleh temen saya, karena tidak menimbulkan reaksi emosional. Namun, rasa sakit yang timbul dari suntikan bertindak sebagai stimulus tak bersyarat yang secara alami memicu rasa takut atau kecemasan. Setiap kali temen saya disuntik, jarum suntik dihubungkan dengan rasa sakit tersebut, sehingga terjadi asosiasi antara keduanya. Setelah beberapa kali pengalaman disuntik, temen saya mulai merasa takut hanya dengan melihat jarum suntik, meskipun belum mengalami rasa sakit lagi. Jarum suntik yang tadinya netral kini menjadi stimulus bersyarat yang memicu respon ketakutan.Â
Yang mana hasil temen saya itu mengembangkan rasa takut hanya dengan melihat jarum suntik, tanpa perlu merasakan sakit lagi. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman berulang dapat membuat stimulus yang awalnya netral memicu respon emosional melalui asosiasi.Â
Sampai ada sebutan tersendiri untuk orang fobia jarum suntik yaitu trypanophobia, yang dimana rasa takut yang berlebihan terhadap jarum dan suntikan dalam konteks medis. Penderita kondisi ini mengalami kecemasan tinggi saat berhadapan dengan alat suntik. Gejala fisik yang muncul dapat berupa peningkatan denyut nadi dan kewaspadaan berlebih. Dalam kasus yang lebih parah, seseorang mungkin mengalami pusing atau bahkan tidak sadarkan diri saat dihadapkan pada situasi yang melibatkan jarum suntik.Â
Kesimpulannya, ketakutan terhadap jarum suntik pada anak muncul melalui proses pengkondisian klasik. Awalnya, jarum suntik tidak memicu reaksi emosional, tetapi setelah beberapa kali mengalami suntikan yang menyakitkan, anak mulai mengasosiasikan jarum suntik dengan rasa sakit. Akibatnya, anak merasa takut hanya dengan melihat jarum suntik, meskipun tidak ada rasa sakit yang dirasakan pada saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman negatif yang berulang dapat membuat stimulus yang awalnya netral, seperti jarum suntik, menimbulkan respon emosional seperti rasa takut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H