“Yaa, I know… Kita seimbang, btw,” Renata menatapku, aku tersenyum membalasnya.
Biasanya, langkah kedua bisa dilewati saat keduanya sudah saling terbuka hati dan pikirannya, tak memberi batas apa pun pada semua kemungkinan yang masuk kedunianya. Renata dan Abraham sama-sama membiarkan satu sama lain masuk, untuk bisa mengobati rasa sakitnya. Perkara apa yang harus dilakukan selanjutnya tak perlu dipikirkan sendiri, karena cinta adalah proses bertumbuh.
Banyak orang tidak bisa membedakan antara cinta dan jatuh cinta, keduanya berbeda. Apa yang dirasakan Renata dan Abraham bukanlah cinta, mereka baru merasakan jatuh cinta, ketika keduanya saling menerima, barulah cinta tumbuh setelahnya. Perasaan yang datang sebelum jatuh cinta adalah rasa penasaran. Rasa itu keluar secara alamiah yang pelan-pelan bertanya pada diri sendiri bagaimana kelanjutannya. Tapi, banyak orang yang tidak bisa membedakan mana penasaran mana jatuh cinta. Maklum, kadang cinta jatuh pada orang-orang bodoh.
“Well… Bisa dibilang kita sudah ada di langkah ketiga. Kita mau apa?” tanyaku, memberanikan diri.
“Baru kali ini, aku ketemu orang gila kayak kamu,” Renata menatapku tajam.
“Sama, baru kali ini aku ketemu perempuan kayak kamu.”
“Kamu perlu tahu, aku capek sama perpisahan. Percuma sekuat tenaga menjaga hubungan tapi akhirnya kandas, pisah, dikhianati,” keluh Renata.
“Sama, aku juga capek.”
“Ih serius, ah. Jangan bercanda.”
“Aku juga serius… Kamu tahu nggak? Ada hubungan yang nggak akan berakhir perpisahan.”
“Aku tahu itu,” Renata tersenyum.