Mohon tunggu...
Zahid Paningrome
Zahid Paningrome Mohon Tunggu... -

Creative Writer zahidpaningrome.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kurir Terakhir

30 Agustus 2016   20:20 Diperbarui: 30 Agustus 2016   20:29 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pria berkumis tebal itu masih mondar-mandir di depanku sejak setengah jam lalu. Stasiun ini masih belum terlalu ramai, terlihat pedagan-pedagang asongan yang sibuk menyiapkan dagangannya, petugas-petugas kereta yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sudah hampir dua jam aku disini, duduk sendiri di bangku kayu yang suaranya berdecit. “Pria dengan topi cowboy” masih aku ingat  kalimat perintah Hanief, bosku. Aku membawa barang yang dibungkus kardus sepatu berwarna coklat yang tidak aku ketahui apa isinya. Hanief  bilang ini tugas penting, dia bilang bahwa aku kurir terbaiknya. Dia juga memberikanku satu tiket keberangkatan kereta api.

Bunyi roda kereta yang bergesekan dengan rel kereta api itu sedikit mengganggu telingaku. Satu lagi, rangkaian gerbong kereta mulai memasuki stasiun ini, terdengar suara petugas stasiun yang mengingatkan penumpang untuk menjauhi rel.

Kereta itu berhenti di jalur satu, tepat di depanku. Sampai kereta itu benar-benar berhenti, suara kerumunan penumpang  mulai terdengar. Penumpang yang naik dan turun membuat keindahan jadi hilang, di ujung kerumunan aku melihat pria yang membuatku terjaga di stasiun ini sejak dua jam tadi. Pria dengan jas hitam, jeans dan topi cowboy cokelat, menghampiriku dengan mantap, matanya yang besar dan tatapan yang tajam membuat kesan baik jadi hilang. 

“Naiklah kereta ini, turun di stasiun berikutnya.” Kalimat itu mengiringi perginya pria itu, hilang di balik punggung penumpang lain. Tanpa berpikir panjang, aku langsung naik dan duduk di tempat yang dituliskan di tiket itu.

Aku duduk gelisah di samping seorang ibu yang sedang menyusui anaknya, penumpang lain sibuk dengan ponselnya, ada yang tidur pulas dengan mulut yang terbuka, ada juga yang fokus membaca koran.  Dua petugas restoran kereta api sibuk menawarkan dagangannya dengan troli yang memang biasa dipakai. Aku terus menatap keluar jendela, di balik jendela itu debu dan asap tak ada bedanya, mengaburkan pandangan. Awan hari ini tak jelas berbentuk, seperti garis lintang yang tidak jelas ujungnya.

“Teh hangat mas?, nasi goreng,” salah satu petugas restoran menanyaiku.

“oh enggak mas, terimakasih,” Jawabku. 

“mau kemana mas?” petugas itu membalas. 

“Teh hangat satu mas.” Aku sengaja tidak menjawab pertanyaannya, aku sendiri tidak tahu kenapa aku disini dan mau kemana tujuanku.

Baru kali ini aku naik kereta untuk menghantarkan barang, biasanya hanya dengan mobil atau montor. Kata Hanief ini barang penting. Aku memang tidak pernah membuka barang yang aku hantar, karena itu melanggar aturan seorang kurir. Jarak dari stasiun tempatku naik kereta ini sampai stasiun selanjutnya tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu satu jam.

Ponselku berbunyi,  dari Hanief. 

“Hallo bos. ” Sapaku tegas. 

“Masih kau bawa barang itu?” Hanief  menjawab dengan suara yang pelan, seperti serius sekali. 

“Masih bos santai saja” jawabku pelan. 

“Berikan kepada pria berkacamata hitam yang berdiri di depan kamar mandi di stasiun berikutnya, dan ambil barang titipanku yang dibawanya” Hanief sudah menutup teleponnya, sebelum aku menjawab perintahnya.

Aku sampai di stasiun yang dimaksud. Barangnya jatuh ketika aku hendak bergegas  menuju kamar mandi di stasiun itu, barang ini cukup berat dibungkus kertas alumunium foil. Tanpa pikir panjang aku memasukkannnya lagi di dalam kardus.Aku hampir sampai di  kamar mandi stasiun. Benar saja,  pria berkacamata hitam itu sudah ada di depan kamar mandi. “Ini barangnya” aku memberikannya dengan mantap. Orang itu mengeceknya lalu tersenyum dan mengangguk. “Terimakasih, kembalilah, ini tiket kereta untuk kau pulang.” Dia memberi tiket kereta dan amplop cokelat besar yang dilipat, aku tahu isinya. Uang jutaan rupiah, aku merasakannya.

Di kereta kepulanganku aku memikirkan barang yang aku bawa tadi, sepertinya aku kenal dengan barang itu. Aku merasakan dengan tanganku, semacam bubuk. Beberapa detik setelah lamunanku. Hanief mengirimkan satu pesan. Pesan yang bermaksud untuk memberikan arahan pada kurir selanjutnya, kurir yang menungguku di stasiun yang membawa kardus sepatu.

Aku sudah sampai, turun bersama penumpang-penumpang lain yang berebut keluar lebih, Aku mencari pria yang membawa barang  yang di bungkus kardus sepatu. Aku menemukannya, pria kecil dengan rambut keriting yang duduk tidak jauh dari pintu kereta tempatku keluar. Dia melambaikan tangannya ke arahku, aku membalas lambainnya.

“Kamu diutus bos?” tanyaku bingung. 

“Iya, ini pertama kalinya aku menjadi kurir.” Dia menjawab penuh semangat.

“Oke, Berhenti di stasiun berikutnya dan jangan coba-coba membuka barang itu.” Aku terpaksa mengatakannya supaya anak itu tidak membukanya, dia orang awam. Harus diberitahu.

Anak itu bergegas masuk kereta, tatapannya ceria. Mungkin karena ini pertama kalinya dia menjadi kurir dan akan mendapatkan uang dari hasil kerjanya sendiri. Aku pergi meninggalkan stasiun dengan rasa bingung dan curiga, setelah ini aku harus menemui Hanief dan meminta bayaranku.

“Sejak kapan, kau menjadi Bandar?” Aku melemparkan amplop cokelat berisi uang kearahnya.

“Apa maksudmu?”

“Barang apa tadi?” aku mendekatinya.

“Kau tidak perlu tau” Hanief membuang muka.

“Aku perlu tahu atau mungkin besok kau sudah ada di balik jeruji besi.”

“Jangan sok. kau tinggal lakukan apa yang kusuruh, lalu aku memberi bayaranmu. Apa susahnya?” Tangannya mengambil barang di laci mejanya.

“Apa yang kau lakukan?” Hanief menodongkan pistol dengan peredam suara ke arahku, membuatku berhenti mendekatinya.

“Jadi, sudah lama tak ada kabar dari Rio, ini yang kau lakukan kepadanya?” tanyaku tegas.

“Aku punya banyak orang, yang siap menghantarkan barang itu ke dia,” tangannya menarik pelatuk pistol.

“Lalu? Kau membunuh mereka semua?”

“Tidak, hanya kurir-kurir sok tau sepertimu dan Rio” tangan kirinya melemparkan uang bayaran ke arahku.

Belum sempat aku menangkapnya, dentuman halus dari pistol melesat ke arahku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun