Zahid Zufar At Thaariq, S.Pd, M.Pd
zahidthoriq123@gmail.com
Kecerdasan buatan (artificial intelligence) telah menonjol dalam masyarakat saat ini, sehingga memunculkan apa yang dapat disebut sebagai "Era Artifisial". Era ini menandai transisi kita ke dunia di mana mesin dan sistem komputer memiliki kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia. Kecerdasan buatan mengubah berbagai industri dan aspek kehidupan kita melalui kemajuan dalam machine learning, natural language processing, dan robotika. Dari mobil tanpa pengemudi hingga asisten pribadi virtual, era artifisial memiliki potensi untuk membentuk kembali cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi. Era ini mewakili waktu transformatif dalam sejarah di mana kecerdasan buatan menjadi semakin terintegrasi ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan otomatisasi tugas, personalisasi pengalaman, dan pertimbangan etis yang menyertainya, ini membawa peluang dan tantangan. Saat kita menavigasi era baru ini, sangat penting untuk mencapai keseimbangan antara memanfaatkan potensi manfaat kecerdasan buatan dan mengatasi implikasi etika dan sosial untuk memastikan masa depan yang didukung oleh buatan yang bertanggung jawab dan inklusif.
Kecerdasan buatan telah merevolusi ruang kelas tradisional, memberikan pengalaman belajar yang terpersonalisasi kepada siswa dan guru dengan perantara pembelajaran yang inovatif. Era artifisial dalam pendidikan sudah tidak diragukan lagi telah menciptakan peluang baru bagi siswa dan guru dalam upayanya untuk selalu memperbarui ruang-ruang pembelajarannya. Dalam artikel ini akan dibahas terkait apa yang harus dilakukan menghadapi era artifisial.
Era Artifisial: Sebuah Bukti Maya yang Nyata
Selama ini, kita telah bergelut dengan era digital. Segala hal terasa berubah secara drastis, mulai dari yang awalnya masih menggunakan cara-cara manual dalam berbagai kegiatan, seketika diotomatiskan dengan kehadiran digitalisasi. Bankewitz dkk pada 2016 melalui artikel yang berjudul "Digitalization and Boards of Directors: A New Era of Corporate Governance?" mengungkapkan bahwa perkembangan digitalisasi telah mengubah paradigma dalam pengambilan keputusan. Menurut Yadav dkk dalam artikel yang berjudul "The existentialism of digitalization era in Human Resources" pada 2020, era digital menekankan untuk memprioritaskan pendekatan yang berpusat pada manusia saat memanfaatkan teknologi. Pendapat ini diperkuat oleh Hustad dkk pada 2017 dalam artikel yang berjudul "Knowledge management towards a digitalization era: systematic review of past research and future directions" yang menguraikan bahwa digitalisasi telah meningkatkan kolaborasi dan keterlibatan melalui platform dan jaringan sosial. Seseorang dapat berbagi pengetahuan dengan mudah, berkomunikasi dengan rekan kerja, dan bekerja bersama dalam proyek tanpa batasan geografis.
Pertanyaannya sekarang adalah "apakah ada kelanjutan dari era ini?". Di era digital, teknologi memainkan peran penting dalam menghubungkan orang-orang di seluruh dunia dan membentuk kembali industri seperti komunikasi, media, dan perdagangan. Teknologi ini membawa kenyamanan dan efisiensi yang luar biasa dalam kehidupan kita, namun masih terbatas dalam hal kemampuannya untuk benar-benar memahami kebutuhan dan preferensi manusia. Artikel dari Thaariq pada 2023 yang berjudul "Learner Characteristics based on Generational Differences" mengutip sebuah tulisan di website yang berjudul "Beta Generation: Welcome to the artificial generation", di mana disebutkan bahwa kelanjutan dari era digital adalah era artifisial. Maka, era ini akan menjawab keterbatasan-keterbatasan dari era digital sebelumnya dan akan melahirkan generasi baru yang dinamakan artificial natives (perkembangan dari digital natives). Bisa dikatakan, ini merupakan bentuk yang matang dari perkembangan teknologi secara keseluruhan. Konteks era ini sebenarnya telah dibicarakan sejak lama, namun baru menyebar secara masif pada 2023 ini ketika muncul berbagai aplikasi berbasis kecerdasan buatan yang mulai banyak dibicarakan maupun diberitakan.
Istilah "era artifisial" mengacu pada dampak signifikan dari kecerdasan buatan pada berbagai aspek kehidupan kita. Melalui kemajuan teknologi, kecerdasan buatan telah menjadi bagian integral dari masyarakat kita, mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berkomunikasi. Era ini ditandai dengan menjamurnya perangkat pintar, sistem otomatis, dan algoritma dengan machine learning yang telah merevolusi industri dan membawa keuntungan sekaligus tantangan. Dengan era artifisial, bagaimanapun juga, mesin menjadi semakin mahir dalam menafsirkan dan merespons emosi, isyarat sosial, dan keinginan manusia. Pergeseran ini memiliki implikasi yang signifikan bagi industri seperti layanan pelanggan, perawatan kesehatan, dan bahkan seni kreatif, di mana kecerdasan buatan kini mampu menghasilkan musik, seni, dan sastra yang tidak dapat dibedakan dengan kreasi manusia.
Teknologi mutakhir ini memiliki potensi untuk merevolusi cara siswa belajar dengan memberikan pengalaman belajar yang dipersonalisasi dan adaptif. Kecerdasan buatan dapat menganalisis data dalam jumlah besar untuk mengidentifikasi gaya belajar, kekuatan, dan kelemahan masing-masing siswa, sehingga guru dapat menyesuaikan instruksi mereka untuk memenuhi kebutuhan unik setiap siswa. Teknologi ini juga meningkatkan keterlibatan dan motivasi, karena dapat menciptakan lingkungan belajar yang interaktif dan imersif.
Saat ini kita hidup dalam masa transisi dari era digital ke era artifisial, di mana teknologi menjadi semakin cerdas dan menyerupai manusia. Munculnya era artifisial telah mendorong kita untuk beradaptasi dan meningkatkan keterampilan agar tetap relevan di tengah persaingan pasar yang terus berubah. Karena teknologi ini terus berkembang, sangat penting bagi para pendidik untuk merangkul dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, memastikan bahwa era artifisial membuka potensi penuhnya dalam memberdayakan siswa dan mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan di masa depan. Pertanyaannya, bagaimanakah caranya?.
Taksonomi Pembelajaran dalam Perspektif Marzano