Baru saja penulis mengunjungi kebun milik pribadi yang sudah lama tidak dirawat. Dikebun ini, penulis menanam berbagai macam jenis sayuran dan buah-buahan seperti cabe, terong, pepaya, singkong dan timun. Walaupun tidak terawat dengan baik, nyatanya hasil cukup memuaskan, ada banyak buah dan sayuran yang penulis bisa petik.Â
Jika melihat perkebunan barangkali yang muncul dalam benak kita adalah suasana yang adem, tenang, dan banyak buah-buahan di sekelilingnya. Namun tahukah anda bahwa ada banyak proses dibalik itu semua. Untuk menjadikan tanaman berbuah banyak dan lebat tentu ada banyak hal yang harus dikerjakan, seperti pemberian pupuk, membersihkan gulma, penyemprotan agar tidak ada hama yang menganggu dan merusak tanaman dan lain sebagainya. Semua proses itu tentu memakan waktu, tenaga dan uang yang tidak sedikit.Â
Hal ini yang kemudian memicu berkurangnya jumlah lahan pertanian atau perkebunan setiap tahunnya. Ada banyak lahan pertanian atau perkebunan yang kemudian beralih menjadi perumahan. Selain itu, jumlah petani juga setiap tahunnya terus berkurang. Dari data yang penulis peroleh lahan pertanian sudah berkurang seluas 287 ribu hektar selama 7 tahun terakhir dan angka ini akan terus bertambah setiap tahunnya. Selain itu, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan tahun 2063 profesi petani tidak akan ada lagi.
Permasalahan diatas tentu menjadi perhatian besar bagi kita semua. Mengingat negara kita setiap tahunnya melakukan impor jutaan ton beras untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional. Padahal negara Indonesia sendiri terkenal dengan negara yang luas dan memiliki tingkat kesuburan yang sangat baik. Potensi sumber daya alam ini harusnya bisa kita maksimalkan dengan baik sehingga angka impor dapat menurun dengan drastis.
Penulis sempat berpikir, mengapa pemuda di Indonesia tidak mau mengambil profesi petani. Presiden Jokowi sendiri mengungkapkan 71% petani Indonesia berada pada usia 45 Tahun ke atas. Data ini cukup mengkhawatirkan karena jika petani tersebut sudah mulai memasuki usia tua dan tidak bisa lagi menggeluti pekerjaan petani lantas siapa yang akan menggantikan posisi mereka ?Â
Sementara jika kita telusuri lebih jauh, kebanyakan pemuda dari generasi milenial dan generasi Z merupakan generasi-generasi yang lebih senang bekerja pada sektor perkantoran dan cenderung memilih pekerjaan yang mudah dan simpel. Generasi sekarang lebih senang menghabiskan waktunya dengan menggunakan gadget ketimbangkan menggunakan arit dan cangkul. Profesi bertani juga dianggap kurang bergengsi dan dipandang remeh daripada profesi yang lainnya. Padahal peran petani sangat penting bagi kehidupan kita.
Mengapa hal demikian bisa terjadi ? Setelah ditelaah kembali sektor pertanian cukup rumit untuk dilakukan karena membutuhkan modal dan hasil yang sulit ditebak. Profesi bertani juga memerlukan lahan yang tidak sedikit, sehingga banyak pemuda yang enggan mengambil profesi ini. Selain itu, profesi petani merupakan profesi yang terbilang cukup melelahkan, karena selain memerlukan waktu yang tidak sedikit, profesi ini juga memerlukan tenaga yang banyak.
Permasalahan selanjutnya yang tidak kalah pelik adalah terkait pupuk dan obat-obat pertanian. Setiap tahunnya harga pupuk dan obat pertanian semakin mahal. Hal ini yang juga menjadi pertimbangan mengapa kebanyak orang ogah menjadi petani.Â
Sejumlah permasalahan diatas tentu ada solusinya. Jika kita melihat kondisi sekarang, ada banyak teknologi dan peralatan yang dapat mendukung suksesnya pertanian. Selain itu, akses media sosial yang semakin mudah dapat membantu pemuda untuk belajar cara bertani sekaligus mempromosikan hasil panennya. Berbagai kemudahan tersebut seharusnya mampu dimanfaatkan dengan baik jika pemerintah bisa memberikan dukungan dan bantuan kepada generasi-generasi muda sehingga profesi petani terus ada dan dapat terus memiliki generasi. Regenerasi tentu sangat penting untuk menjaga ketahanan pangan suatu negara dan juga untuk menstabilkan harga kebutuhan pokok yang ada dimasyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H