Berasal dari kata multi (plural) dan kultural (tentang budaya), multi-kulturalisme mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat.
 Istilah multikulturalisme secara umum diterima secara positif oleh masyarakat Indonesia. Ini tentu ada kaitannya dengan realitas masyarakat Indonesia yang majemuk. Kemajemukan Masyarakat Indonesia terlihat dari beberapa fakta berikut: tersebar dalam kepulauan yang terdiri Atas 13.667 pulau (meskipun tidak seluruhnya berpenghuni), terbagi ke dalam 358 suku bangsa Dan 200 subsuku bangsa, memeluk beragam agama dan kepercayaan yang menurut statistik: Islam 88,1%, Kristen dan Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1% dan yang lain 1% (dengan Catatan ada pula penduduk yang menganut keyakinan yang tidak termasuk agama resmi Pemerintah, namun di kartu tanda penduduk menyebut diri sebagai pemeluk agama resmi Pemerintah), dan riwayat kultural percampuran berbagai macam pengaruh budaya, mulai dari Kultur Nusantara asli,Hindu, Islam, Kristen, dan juga Barat modern.Â
Dewasa ini sering kali terjadi konflik keagamaan yang cukup meresahkan masyarakat sekitar. Berawal dari ketidak toleran beragama maupun ketidak toleran perbedaan budaya atau kuktur yang terdapat pada masyarakat. Ketidak toleran tersebuat disebabkan oleh kurangnya wawasan keagamaan atau bisa jadi kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap cara hidup sosial.
Multikulturalisme yang kurang dipahami oleh masyarakat akan menyebabkan konflik keagamaan dengan jeda waktu yang sangat panjang. Melihat keadaan sosial tersebut sebuah universitas perguruan tinggi tak tinggal diam. Dimulai dari membentuk sebuah gerakan yang bertajuk Islam moderat menghadirkan gagasan perdamaian di tengah hiruk pikuk konflik keagamaan dikalangan masyarakat. "Rumah Moderasi Beragama" yang kini menjadi program terbesar yang dicanangkan oleh Universitas Islam Negeri ini berjalan dalam lingkup kemahasiswaan di awal tercetusnya, dan diharap masyarakat dapat mengerti apa yang dimaksud dengan moderasi beragama yang pada intinya akan merangsang masyarakat untuk menerima gagasan multikulturalisme ini.
Universitas Islam Negeri dan beberapa cabangnya kini menjadi pionir utama atas berdirinya program "Rumah Moderasi Beragama". Di kampus UIN KHAS Jember khususnya telah memulai beberapa program untuk lebih memasifkan lagi gerakan ini. Dimulai dari mengkonsep pemetaan arah gerak hingga menjadikan ORMAWA sebagai duta program RMB ini. Di sisi lain untuk menjalankan program ini pihak UIN KHAA Jember telah menggandeng beberapa penyuluh agama untuk bekerjasama dalam memasifkan gerakan ini. Dimulai dari kabupaten Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, kabupaten Probolinggo dan kota Probolinggo. Sinergi ini deikemas dalam workshop penguatan kapasitas penggerak moderasi beragama. Workshop ini diitujukan untuk membangun landasan pengetahuan dan akan menjadi pondasi dalam keilmuan-keilmuan yang bersifat moderat dan plural. Di sinilah penanaman multikulturalisme ditekankan. Dengan semakin masifnya paham multikultural ada kemungkinan besar bahwa sikap toleransi tersebut akan memicu terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis.
Ada pula beberapa kritik dari para kritikus Peneliti feminis Susan Moller Okin (lihat Okin, 1998, 1999, dan 2002), misalnya, menilai bahwa agenda multikulturalisme tidak dapat berbuat banyak, atau justru makin melemahkan posisi perempuan dalam tatanan masyarakat lokalnya. Praktik-praktik seperti poligami, penyunatan alat kelamin perempuan, pernikahan paksa terhadap anak-anak perempuan termasuk anak-anak perempuan berusia dini, dan lain sebagainya praktik yang bias gender, justru dilegitimasi oleh multikulturalisme yang memberikan hak otonom bagi setiap kelompok kultural untuk melanggengkan tatanan sosial masing-masing. Jika tatanan sosial dari kelompok kultural tersebut didasarkan atas sistem patriarki, kata Okin, posisi perempuan dalam masyarakat itu sangat lemah.
Pada masalah di atas dapat kita lihat bahwa multikultural yang berlebihan akan menimbulkan dampak yang cukup meresahkan pula. Untuk meminimalisir terjadinya hal tersebut seharusnya masyarakat mampu membatasi multikultural tersebut. Karena penulis rasa sesuatu yang berujung berlebihan itu sangat tidak baik bagi kehidupan manusia pada umumnya. Akan tetapi paham multikulturalisme harus tetap kita masifkan dan tetap kita paham kan kepada masyarakat dengan melihat keadaan dan konteks sosial yang berada dilingkungan sekitar.
Dengan adanya kejadian konflik keagamaan yang terus terulang walau hamya dilakukan beberapa oknum saja, namun hal itu dapat memicu terjadinya konflik yang lebih besar. Entah salah satunya yang merasa dirugikan atau salah satunya merasa dilecehkan, begitu pun sebaliknya. Maka selayaknya mahasiswa sebagai pemuda yang berpendidikan memiliki wawasan luas dan pengetahuan yang luas memberikan serta membuka wawasan masyarakat tentang keagamaan dan tentang tata cara berkehidupan sosial yang sesuai dengan norma-norma masyarakat.
Berbicara perihal ilmu pengetahuan yang moderat, yang toleran, bahwasanya orang yang memiliki pemikiran toleran dan dan berjiwa multikuktural adalah dia yang mempunyai wawasan luas dan pandangan yang universal. Dalam artian ketika seseorang telah memiliki wawasan yang luas dan pandangan yang luas dia tidak akan melihat segala sesuatu dari satu sudut pandang, Dia akan cenderung melihat dari berbagai arah dengan sudut pandang yang universal, sehingga dia dapat memahami latar belakang atau alasan tdari tingkah laku seseorang. Di sini lah timbul rasa saling memahami. Seharusnya tatanan nilai demikian lah yang kampus Universitas Islam Negeri canangkan. Dimulai dari program "Rumah Moderasi Beragama" untuk membuka wawasan masyarakat serta membangun fondasi multikultural (yang dimaksud fondasi multikultural adalah memebrikan wawasan yang luas agar dapat melihat secara universal). Sehingga dapat tercapai negeri gemah ripah loh jinawi nan madani.
Begitulah dinamika kehidupan. Kini mayoritas manusia berpaku pada perbedaan yang secara tidak langsung memicu pemfokusan klasifikasi golongan-golongan masyarakat saja tanpa melihat persamaan walau sedikit.
 Dengan semakin maraknya konflik keagamaan yang dipicu oleh ketidak toleransian, jika tidak segera ditangani atau tidak adanya usaha meminimalisir akan semakin menjadi konflik yang cukup meresahkan. Kurangnya rasa toleransi yang disebabkan oleh sempitnya sudut pandang kian menambah terjadinya konflik ini. Maka sudah menjadi tugas bagi kaum berpendidikan dan terpelajar untuk membuka wawasan masyarakat yang lebih luas dan membuka sudut pandang yang universal untuk meminimalisir terjadinya konflik ini. Dalam artian fondasi multikultural dan keilmuan yang moderat adalah wawasan terbuka luas serta cara pandang yang universal.Â