Memasuki usia yang ke-65 Indonesia dihadapkan pada tantangan yang semakin berat. Mulai dari pengurangan kemiskinan, peningkatan mutu pendidikan, memacu investasi, hingga mengejar pertumbuhan kawasan. Mungkin sebagian tantangan di atas merupakan tantangan yang juga dihadapi saat negeri ini baru merdeka.
Kemiskinan dan kebodohan misalnya merupakan dua term klasik yang menggelayuti memori kolektif kita sejak 1945 hingga kini. Beragam cara sudah dilakukan untuk mengusir kedua 'hantu' tersebut. Silih berganti pemerintahan sejak orde lama, orde baru, dan orde reformasi ini mencoba mengatasi. Namun, tetap tak mudah 'menjinakkan' keduanya.
Apakah kita akan menyerah pada tantangan tersebut? Jawabnya tidak. Sebagai bangsa besar kita harus siap menghadapi tantangan apa pun yang datang. Yang terpenting adalah bukan berhasil atau gagal tapi sejauh mana militansi pemimpin dalam mengatasi setiap tantangan.
Ada baiknya pada momentum kemerdekaan ini kita menengok sejarah. Cita-cita terbesar dari suatu bangsa yang merdeka adalah kesejahteraan bagi rakyatnya. Kesejahteraan dimaksud diterjemahkan melalui kematangan rasa nasionalisme, ekonomi yang terdistribusi secara (relatif) merata, serta adanya konsensus dan aturan main sebagai rambu-rambu kolektif. Jika negara sudah sampai pada tahap ini maka dengan sendirinya kehormatannya akan diakui oleh bangsa dan negara lain.
Tampaknya cita-cita di atas sangat ideal. Bahkan, bagi sebagian kalangan yang pesimis ide tersebut hanya dianggap sebagai utopia. Namun demikian kita tak boleh berhenti berharap dan berusaha. Karena, pada dasarnya negara didirikan untuk membuat sesuatu yang ideal itu bisa terwujud secara bertahap.
Indonesia setelah lebih dari enam dasa warsa merasakan kemerdekaannya kini juga tengah berproses untuk mengejar kehormatan tersebut. Rezim silih berganti, datang dan pergi, namun nilai ideal itu tak juga dirasakan secara merata.
Jika merujuk pandangan Wickner dan Miurin setidaknya terdapat empat parameter untuk mengukur keberhasilan suatu bangsa. Keempat parameter dimaksud antara lain, keberlanjutan (sustainability), keadilan dan kebebasan individu (fairness and individual freedom), harmoni (harmony) dan kesiapan menghadapi masa depan (readiness for the future).
Keberlanjutan suatu negara dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan lingkungan, dan kesehatan masyarakatnya. Dalam hal pertumbuhan ekonomi kita sejak reformasi terus berupaya mengejar pertumbuhan 6 sampai 7 persen. Namun, digit tersebut tak mudah dicapai begitu saja. Perlu dukungan infrastruktur serta iklim investasi dan permodalan yang memadai.
Selain itu kualitasi SDM kita juga menjadi tantangan tersendiri. Beberapa kasus pindahnya perusahaan asing ke Vietnam dan Thailand dalam lima tahun terakhir menunjukkan kita masih memiliki pekerjaan rumah dalam meningkatkan iklim investasi.
Paradoks Demokrasi
Di sisi lain demokratisasi yang kita harapkan dapat menjadi jalan menuju kemajuan nyatanya hingga kini justru hanya menyuguhkan kebisingan dan konflik elit. Mengenai hal ini Lee Kwan Yew, mantan PM Singapura, menyimpulkan apa yang terjadi di Indonesia sebagai berikut:
Pertama, sistem multipartai yang berlaku saat ini menyulitkan pemerintahan manapun untuk menjalankan program-programnya. Apa yang dikatakan Lee benar. Kita lihat dalam sepuluh tahun terakhir DPR begitu kuat
(legislative heavy).