Mohon tunggu...
zaenal budiyono
zaenal budiyono Mohon Tunggu... -

a political analyst and writer

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jujur Melihat Realitas

24 Mei 2011   03:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:18 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu kekurangan kita semua dalam menyimpulkan kinerja pemerintah terletak pada simplifikasi terhadap suatu masalah atau isu. Terkadang kita sudah memiliki frame di belakang kepala, sehingga apa yang dilakukan pemerintah akan dianggap salah. Bahkan kebijakan yang belum diambil pun akan dilihat secara sinis. Inilah problem kita yang paling mendasar di era transisi. Seorang kelapa negara sahabat pernah mengingatkan kepada kita, bahwa demokrasi akan menjadi manfaat jika tercipta tertib politik. Tanpa itu, demokrasi hanya menjadi kebebasan yang sia-sia, atau dalam bahasa Fuad Hasan, tak ada batas yang jelas antara “bebas” dan “liar”. Saya yakin bukan ini demokrasi yang hendak kita tuju.

Mengenai kritik sejumlah kalangan terkait kegagalan pemerintahan saat ini, sejauh ini lebih tepat dianggap sebagai jargon ketimbang analisis. Pasalnya, tak ada kajian ilmiah yang cukup kuat untuk menunjukkan kesahihan klaim tersebut.

Pertama, supremasi hukum tak bisa dilihat hanya dari kasus per kasus, melainkan secara harus diamati keseluruhan. Benar bahwa pemerintahan saat ini belumlah dapat menyelesaikan semuanya. Tetapi harus kita akui, ada sejumlah kemajuan signifikan dari masa-masa sebelumnya. Problem terbesar bangsa ini terkait hukum terletak pada budaya kita sendiri, yang terlalu permisif. Ini adalah kesalahan kolektif yang berlangsung sedemikian lama, terutama di era orde baru. Kini kita harus menghapus budaya tersebut, seperti budaya korupsi, yang kita ingin disingkirkan dalam waktu cepat. Tentu saja ini tidak mudah, tetapi Presiden SBY telah memulainya.

Mengenai tuduhan tebang pilih, sekali lagi ini tak sesuai fakta. Publik bisa melihat, apakah ada perlindungan yang diberikan oleh Presiden kepada keluarga dan koleganya dalam kasus korupsi? Terakhir, pesan Presiden jelas, agar kasus korupsi yang dituduhkan ke kader partainya segera dituntaskan, tanpa melihat orang dan lembaganya.

Kedua, demokrasi kita tidak semu, karena jika semu, maka tak akan ada kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, lembaga perwakilan yang seimbang, partai politik yang bebas, dan lembaga peradilan yang independen. Bukankah ini semua tengah berjalan? Oligarki politik juga jauh panggang dari api. Ibu Negara sudah sejak awal menolak dicalonkan pada pemilu mendatang, padahal dukungan ke arah sana cukup besar. Bukankah ini bagian dari sikap demokratis? Justru yang harus khawatirkan saat ini, banyak elit—dari sejumlah partai—baik di pusat dan daerah, yang melanggengkan kekuasaan dengan memajukan keluarga. Ada istri menggantikan suami sebagai kepala daerah, juga klan politik di daerah tertentu. Mengapa semua harus dialamatkan ke Presiden SBY? Apakah Presiden SBY harus menghentikan mereka? Lalu caranya melalui apa, karena mereka terpilih melalui mekanisme demokrasi? Haruskah dengan cara-cara otoriter khas Orde Baru? Bukankah ini menodai semangat partisipasi politik yang kita perjuangkan?

Lalu koalisi yang dianggap pragmatis juga tidak sepenuhnya benar. Semua ada kontrak politiknya, yang jika dilanggar, maka partai tersebut menabrak etika politik. Tapi tahukah kita semua bahwa tak banyak partai yang menjunjung tinggi etika tersebut—padahal etika adalah ruh dalam politik. Kenapa kita diam kepada para “pelanggar” itu?

Ketiga, keseimbangan pembangunan kini juga terus meningkat, antara Jawa dan luar Jawa. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terjadi peningkatan penanaman modal di luar Pulau Jawa yang cukup drastis. Peningkatan volume investasi luar Jawa pada 2010 mencapai 38% dari total investasi di Indonesia. Pada 2009, investasi luar Jawa hanya pada kisaran 13,75%. Artinya meningkat hampir 3 kali. Bahwa ini belum ideal, sepenuhnya setuju. Tetapi kita semua harus berbuat sesuatu untuk membantu agar investasi dan kegiatan ekonomi pada umumnya dapat makin meningkat ke depannya.

Keempat, pertumbuhan ekonomi memang bukan satu-satunya ukuran kesejahteraan. Namun demikian, jelas juga bahwa angka pertumbuhan yang naik diikuti oleh terbukanya lapangan kerja dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Bukankah ini bagian dari upaya mensejahterakan rakyat? Dan ini adalah pendekatan keilmuan yang diterima di mana-mana. Untuk melindungi masyarakat yang miskin, pemerintah menyiapkan PNPM, PKH, KUR, Jamkesmas dll. Bagi yang mempunyai anak di sekolah, ada BOS dan beasiswa yang mermacam-macam dari Kemendiknas. Sekolah dasar juga gratis, walau masih ada sejumlah oknum yang memanfaatkan celah. Yang juga harus diingat, anggaran pendidikan 20% APBN baru terealisasi di era Presiden SBY, padahal ini amanat amandemen konstitusi yang sudah lama.

Kelima, angka kemiskinan kita terus menurun, dan itu adalah fakta (13,3% pada 2010). Menyoal standar kemiskinan kita, sebagaimana data BPS, sejatinya ukuran kemiskinan sudah setara $ US 1,7 per hari. Angka ini di atas standar yang diberlakukan di China dan India yang baru menerapkan standar $ US 1 per hari.

Berikutnya, mengenai rasa aman, sebagian dari masyarakat kita tentu akan setuju jika kondisi saat ini lebih baik dari sebelumnya. Orang bisa beaktifitas tanpa rasa takut, baik takut ancaman dari aparat maupun kejahatan jalanan. Benar bahwa masih ada riak-riak kekerasan bernuansa agama, yang itu harus diselesaikan. Tetapi ini tidak berdiri sendiri, melainkan pekerjaan besar kita bersama pasca reformasi yang juga diiringi dengan de-ideologisasi Pancasila. Mungkin inilah saatnya kita melakukan restorasi Pancasila, untuk menebalkan kembali kohesifitas sosial dan kebangsaan kita. Ini memerlukan persetujuan dari sejumlah lembaga tinggi negara, bukan hanya Presiden.

Ketujuh, mengenai kedaulatan ekonomi, ini adalah tema penting pada pemerintahan SBY. Menyikapi kontrak-kontrak energi, SBY menerapkan tiga strategi. Pertama, kontrak-kontrak yang diteken pemerintahan sebelumnya, harus di-review. Jika terindikasi kita dirugikan dengan perkembangan harga dunia, maka negoisasi ulang adalah jawabannya. Kedua, kontrak-kontrak baru pada masa pemerintahannya, sebisa mungkin harus menguntungkan negara dan tak mengulang kesalahan. Ketiga, jika terjadi sengketa antarkedua pihak, harus diselesaikan melalui perundingan dua pihak. Opsi arbitrase internasional bukanlah pilihan rasional karena kerap di forum itu kita kehilangan kontrol. Negoisasi ulang LNG Tangguh sudah dilakukan pada 2008 yang berhasil menyelamatkan triliunan uang negara. Sebelumnya Tangguh ditandatangani pada 2002, era Presiden Megawati. Sementara untuk kontrak baru di era SBY, dapat dilihat pada Production Sharing Contract Blok Cepu di mana negara mendapat bagian 86,5%. Angka itu didapat dari pola bagi hasil bertajuk adjusted split, yang menggunakan harga minyak dunia sebagai patokan.

Kedelapan, komitmen terhadap NKRI tak akan pernah luntur sampai kapan pun, itu sepertinya akan menjadi pegangan setiap presiden di negeri ini, termasuk SBY. Dan ia tak hanya bicara, melainkan membuktikannya pada kasus Aceh, dimana daerah konflik yang sudah bergolak 30 tahun dapat diakhiri dengan kedamaian hingga kini. NKRI pun tetap utuh dan merah putih berkibar. Konflik-konflik komunal juga terus menurun skalanya, baik di Poso maupun Maluku. Terkait NII, tak ada kompromi untuk gerakan makar apapun di republik ini. Doktrin TNI sudah sangat jelas untuk itu, dan tak ada presiden yang berani bermain-main dengan konsensus nasional.

Oleh Zaenal A Budiyono, Ass Staf Khusus Presiden Bid Publikasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun