[caption id="attachment_261531" align="alignleft" width="621" caption="Welcome to Jawa Mosque Bangkok"][/caption]
Waktu menunjukkan sekitar pukul tiga sore waktu Bangkok, saat saya dan istri “mendarat” di Stasiun BTS Surasak, 20 Februari 2013. Mirip Commuter Line di Jakarta, tapi kondisi BTS lebih rapi dan coverage-nya lebih luas, hingga ke CBD Bangkok. BTS berputar mengitari kota Bangkok dengan sistem skyline. Mungkin Monorail Jakarta yang mandeg nanti akan seperti wujud BTS sekarang di Ibu Kota Thailand itu.
Keluar Surasak BTS Station kami “disambut” pemandangan “biasa”, ya, karena ini tidak aneh di Jakarta. “Banyak tukang ojek juga di Bangkok”, pikir saya dalam hati. Tak banyak yang bisa bercakap Inggris memang, tapi itu tak mengurangi keakraban kami dengan penduduk lokal. Kami hanya mengatakan, “where is Jawa Mosque?”. Nah begitu mendengar kata Jawa Mosque, beberapa tukang ojek mulai ngeh.
Salah satu menjawab, “Masjid... Masjid...?”, saya segera mengiyakan. Usut-punya usut, ternyata masyarakat Bangkok menyebut Jawa Mosque dengan kata “Masjid Jawa”. Ini bahasa melayu, dan mungkin orang Thai mendengar dari komunitas Melayu di Bangkok. Setelah ditunjukkan arahnya—tentu dengan bahasa yang tak satu kata pun saya mengerti—kami segera meluncur ke sana.
[caption id="attachment_261532" align="alignleft" width="629" caption="Gang Sempit di Depan Masjid Jawa"]
Sebenarnya tukang ojek Surasak menawarkan akan mengantar. Juga sopir tuk-tuk (bajaj khas Bangkok) yang mengaku tahu lokasi Jawa Mosque dimaksud. Tapi kami mau berpetualang. “Ngapain juga naik kendaraan terus wong niatnya mau adventure”, begitu pikir kami. Akhirnya jalan kaki menjadi pilihan “logis”, sekaligus melihat-lihat pinggiran kota Bangkok.
Masjid Jawa terletak di distrik Sathorn, Bangkok, Thailand, tepatnya di jalan Soi Charoen Rat 1 Yaek 9. Kami berjalan melewati gang sempit di samping St Louis Hospital, diapit jalan tol di sebelah kanan. Penampakannya mirip “jalan tikus” di pojok-pojok Jakarta. Begitu memasuki gang, untuk berjalan nyaman saja susah, sebab mobil masih ngotot masuk ke gang sempit itu. Bahkan gang sempit ini dipaksakan dilalui mobil dua arah. Akibatnya, bila dua mobil dari arah berlawanan berpapasan, salah satunya harus mengalah.
Di sepanjang jalan menuju Jawa Mosque banyak pedagang makanan, termasuk makanan halal bagi kaum muslim. Di sekitar masjid Jawa memang banyak tinggal komunitas Jawa dan Melayu. Namun terdapat juga beberapa rumah etnis lain, seperti Thai dan Chinese. Mereka hidup berdampingan, layaknya di Indonesia.
[caption id="attachment_261533" align="alignleft" width="640" caption="Bedug Khas Jawa Terawat Baik di Masjid Bangkok"]
Akhirnya dari kejauhan kami melihat papan nama berwarna hijau bertuliskan “Jawa Mosque”. Sebenarnya masih ada tulisan lain dalam aksara Thai dan Arab, yang kira-kira maksudnya sama. Begitu masuk gang masjid, mobil sudah tak bisa melintas. Jalan depan Jawa Mosque lebarnya tak lebih dari dua meter. Yang melintas hanya pengendara motor dan tuk-tuk.
Tak lama berselang kami memasuki masjid. Sepi, hanya beberapa orang yang tengah duduk-duduk di halaman masjid. “Assalamualaikum”, sapa kami. Salah seorang menjawab, “Waalaikumsalam”. Kami lalu memperkenalkan diri sebagai traveler dari Jakarta. Saya juga menyebutkan kelahiran Jawa, seperti mereka. Tak jelas apakah mereka paham bahasa Inggris atau tidak, tapi begitu tahu saya dari “jauh” dan terutama dari Indonesia, mereka tampak ramah. Mereka bahkan memberi kami air mineral. Namun tak banyak yang bisa diobrolkan karena kendala bahasa. Entah karena tak tahu harus ngomong apa, mereka meminta ijin (dengan body language) untuk melanjutkan kesibukannya.
Kami pun meminta ijin agar bisa masuk masjid, sambil menunggu waktu Ashar tiba. Nah di sini ada pemandangan unik. Masjid Jawa di Bangkok ini memang benar-benar njawani. Bangunannya sedikit beraroma joglo khas Jawa, mirip masjid kauman di Yogyakarta. Masjid ini tidak luas, kira-kira bisa menampung jamaah 200-an. Makanya di depan masjid terdapat halaman dan bangunan kayu yang bisa digunakan untuk sholat Jumat, Idul Fitri maupun Idul Adha, saat jamaah membludak. Satu lagi yang pasti “Jawa” adalah bedug. Di Masjid Jawa ada bedug berdiameter 1 meter yang terawat baik. Bedug ditaruh di sebelah kiri masjid dan digunakan sebagai penanda datangnya waktu shalat.
[caption id="attachment_261534" align="alignleft" width="640" caption="Kompleks Pemakaman di Seberang Jawa Mosque"]
Sembari menunggu Ashar tiba, kami duduk-duduk—sesekali rebahan—di teras masjid. Sampai Pak Syarif datang jelang waktu Ashar. Syarif adalah generasi ketiga komunitas Jawa di Bangkok. Leluhurnya pertama kali menginjakkan kaki di Thailand pada awal 1900-an, saat Raja Chulalongkorn mendatangkan masyarakat Jawa ke Bangkok. Berlanjut pada era kolonial, gelombang kedua dan ketiga dari Jawa kembali masuk kota Bangkok. Terakhir pada era Romusha Jepang, dimana para pekerja dari Jawa dikerahkan membangun jalan yang menghubungkan Thailand-Burma.
Syarif bekerja sehari-hari seorang wiraswasta, selain mengajar agama di Masjid Jawa. Dari penampilannya, ia tampak terdidik. Sore itu ia mengenakan baju gamis putih dan celana putih. Bahasa Inggrisnya cukup lancar, sehingga kami bisa sedikit berbagi cerita. Ia mengaku—berdasarkan cerita leluhurnya—kakeknya berasal dari Kendal, Jawa Tengah. Saat saya katakan saya juga lahir di Jawa Tengah, ia begitu antusias. Syarif belum pernah melihat Kendal, namun suatu saat ia sangat ingin menengok “tanah leluhurnya” itu.
Saat ini di distrik Sathorn, Bangkok, terdapat ratusan keluarga keturunan Jawa. Mereka hidup layaknya masyarakat Thailand, namun tradisi leluhur Jawa tak pernah bisa dihilangkan dari keseharian. Syarif pun mengakui, generasinya—termasuk dirinya—sudah tidak bisa berbahasa Jawa, apalagi yang masih muda dan remaja. Hanya beberapa orang-orang sepuh yang masih bisa bercakap Jawa. Walau demikian, tradisi yang lain tetap mereka pertahankan. Mulai dari kenduren, mitung dino, hingga beduk Jawa.
Waktu Ashar tiba. Pak Syarif meminta saya untuk mengumandangkan azan Ashar. Saya terkejut sekaligus tersanjung. Namun karena saat itu sudah ada beberapa orang yang hadir di masjid, saya menyilahkan azan ke beberapa pria di dalam masjid. Menyambut ramah, salah seorang lalu maju ke depan mengumandangkan panggilan shalat. Saya pikir di Bangkok azan dilakukan secara “intern”, tetapi dugaan saya keliru. Azan asar disuarakan dengan hikmad melalui pengeras suara yang cukup nyaring. Makin seperti berasa di Indonesia.
[caption id="attachment_261535" align="alignleft" width="640" caption="My Wife with Ibu Khadijah"]
Selesai sholat, saya dan istri melanjutkan berbincang dengan pak Syarif. Kali ini Ibu Khadijah bergabung. Ibu ini mengenakan jilbab dan ramah. Ia mualaf, kelahiran asli Thailand. Khadijah bekerja di sebuah bank di Bangkok. Anaknya kuliah di Chulalongkorn University, salah satu yang terbaik di Thailand. Karena perut kami keroncongan, kami bertanya ke Bu Khadijah, dimana tempat makan yang recomended. Maksud saya yang halal. Tak hanya menjawab, ia bahkan bersemangat mengantar kami ke tempat yang saya maksud. Setelah berpamitan dengan Pak Syarif, Khadijah mengajak kami. “Follow me. I will take you to halal restaurant”, ujarnya.
Berjalan menyusuri gang-gang sempit sekitar masjid, akhirnya kami sampai di warung makan. Jaraknya dari masjid sekitar 200 meter. Bu Khadijah menawari kami beberapa menu, dan kami merasa semua enak disantap saat lapar. Sejurus kemudian ia memesan ke pemilik restoran dengan bahasa Thai yang njelimet di telinga. Hehe. Restoran halal ini milik orang Chinese atau Thai. Ia berdagang di dalam rumah dan menambah 2 meja di jalan yang sudah sempit.
Meunggu makanan datang, Bu Khadijah menceritakan hubungannya dengan Jawa Mosque. Ia ternyata “nyantri” di masjid tersebut, mendalami Islam hingga akhirnya menjadi Mualaf. Pak Syarif salah satu gurunya. Khadijah sudah 3 tahun menjadi muslimah. Bahkan ia kini sudah bisa mengajar mengaji ke anak-anak dan remaja. Ia juga kerap menjadi guru privat membaca Alquran di Bangkok. “Saya baru belajar Islam. Belum banyak yang saya tahu, tapi saya membagi sebisanya pengetahuan”, ujarnya dalam bahasa Inggris yang lancar.
Tak terasa makanan di piring “lenyap” ke dalam perut. Dasar lapar. Saat saya akan membayar makanan, Ibu Khadijah keberatan. “You are traveler, and you are my guest”, katanya ramah. Kami tak bisa menolak kebaikan Ibu yang satu ini. Saya dan istri hanya bisa mengucapkan terima kasih. Kami pun berjanji akan membantunya kalau ia mampir ke Jakarta suatu saat. Akhirya kami berpisah dengan Ibu Khadijah. Ia ternyata menitipkan motornya tak jauh dari warung tempat kami makan. Ia terbiasa mengendarai motor dan naik BTS untuk bekerja.
Matahari mulai gelap di langit Bangkok. Kami pun segera berkemas kembali menuju hotel di kawasan Khaosan Road. Dalam perjalanan via BTS menuju hotel, saya masih terngiang suara azan, bedug, kenduren dan orang-orang Jawa yang sudah menjadi Thai. Unik dan menarik. Itulah akulturasi budaya yang menghasilkan kekayaan dan budaya baru.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H